JAPNAS: Satnya Industri Kreatif Dibei Ruang
Potensi Industri kreatif Indonesia jika digarap secara optimal, disebut-sebut mampu menjadi tulang punggung perekonomian nasional
Editor: Toni Bramantoro
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Potensi Industri kreatif Indonesia jika digarap secara optimal, disebut-sebut mampu menjadi tulang punggung perekonomian nasional.
Dengan keragaman budaya, bahasa, makanan, hingga tata cara berpakaian yang terbentang di 13 ribuan pulau, indonesia memiliki potensi Industri Kreatif yang bisa menjadi kekuatan ekonomi baru.
Di tahun 2014 saja, industri kreatif mampu berkontribusi sebanyak 7,06% atau Rp 716 triliun terhadap total produk domestik bruto (PDB) dan membuka lapangan kerja bagi 12 juta orang.
Namun tentu saja untuk mengembangkan industri kreatif di Indonesia, pemerintah harus lebih memberikan ruang bagi sektor ini.
“Untuk memacu industri kreatif dapat lebih berperan dalam perekonomian nasioal, ada empat pilar yang harus bersinergi dalam pengembangan ekonomi kreatif yaitu pemerintah, pengusaha. intelektual, dan komunitas," urai Wakil Ketua Umum Bidang Pengembangan Jaringan JAPNAS, Sari W Pramono.
Khusus untuk pemerintah, JAPNAS menilai ada beberapa sektor yang harus diselesaikan oleh pemerintah. Pertama terkait Hak Kekayaan Intelektual (HAKI), terutama terkait dengan pembajakan (piracy).
“Pembajakan di Indonesia ini sudah sangat parah. Setiap film, ataupun lagu yang baru keluar,dalam waktu tidak lebih dari satu minggu, pasti sudah bisa dinikmati CD bajakannya,” ungkapnya.
Masalah yang kedua adalah permodalan. Industri kreatif lebih banyak mendasarkan pada hasil olah pikir manusia. Baik itu berupa program komputer, game, lagu, hingga ke sektor fashion industry.
Apalagi basis pelaku industri kreatif juga berasal dari pengusaha muda dan pemula. Dimana banyak dari mereka sangat kesulitan untuk mengakses permodalan, karena tidak adanya colateral atau jaminan.
“Banyak anak muda kita memiliki krativitas yang potensial untuk dikembangkan. Namun karena keterbatasan modal dan perhatian pemerintah, produk para anak muda ini tidak mampu dikembangkan. Atau lebih parah, dijual ke negara lain,” lanjut Sari.
Oleh karenanya,pemerintah dan pihak perbankan harus merumuskan kredit modal yang dikhususkan untuk pengembangan industri kreatif di Indonesia.
“Kredit modal ini bisa berupa soft loan, ataupun student loan seperti di luar negeri. Sehingga jika ada yang benar-benar potensial, dapat mengembangkannya untuk dijual ke pasar,” ujarnya.
Permasalahan yang ketiga adalah tidak sinergisnya dunia pendidikan dengan kebutuhan pasar. Dunia pendidikan di Indonesia, sebenarnya telah mampu menghasilkan produk-produk yang luar biasa. Baik itu di bidang energi alternatif, sumber makanan alternatif, fashion, hingga ke teknologi terapan.
Namun sayang hal tersebut belum bisa diterjemahkan ke pasar, karena tidak adanya linkage antara dunia pendidikan dengan pengusaha.