Dinilai Tak Sesuai UUD 45, Perpanjangan Kontrak JICT Harus Dibatalkan
Melalui pelelangan terbuka, JICT dijual dengan nilai US$ 243 fil/ra.
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Peneliti Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM, Fahmy Radhi menilai Jakarta International Container Terminal (JICT) yang beroperasi di Pelabuhan Tanjung Priok sesungguhnya merupakan aset negara strategis. Karenanya, seharusnya di kelola Negara melalui BUMN dengan kepemilikan saham 100%.
Untuk itu, mutlak bagi Kementerian BUMN melalui PT Pelindo II untuk membatalkan perpanjangan kontrak JICT kepada perusahaa asing, Huntchison Port Holdings (HPH), yang berkedudukan di Hongkong.
"Pengelolan sepenuhnya oleh BUMN merupakan manfestasi demi kedaulatan ekonomi, seperti yang diamanahkan konstitusi pasal 33 UUD 1945," kata Fahmy Radhi, Kamis (24/12/2015).
Dia menjelaskan, awalnya 100% saham JICT dimiliki negara yang dikelola oleh PT Pelindo II, sebagai representasi Negara. Pada saat krisis monetemoneter 1997, atas tekanan dan desakan IMF, Pemerintah melakukan privatisasi dengan menjual JICT kepada perusahaa asing, yakni HPH.
Melalui pelelangan terbuka, JICT dijual dengan nilai US$ 243 fil/ra. Perubahan komposisi kepemilikan saham baru yakni HPH menguasai mayoritas sebesar 51% sedangkan Pelindo II sebesar 49% dengan jangka waktu konsesi selama 20 tahun, dimulai pada2009 berakhir pada2019.
Sejak 27 Juli 2012, kata Fahmy, Diretur Utama Pelindo II RI Lino sudah merintis proses perpanjangan Kontrak JICT. Namun, lantaran Menteri BUMN dan Menteri Perhubungan Pemerintahan SBY tidak memberikan izin, RI Lino belum bisa memperpanjang kontrak.
"Berbeda dengan sebelumnya, Menteri BUMN Rini Soemamo justru mengeluarkan izin prinsip perpanjangan kontrak pada 9 Juni 2015. Hanya berbekal izin prinsip Menteri BUMN, tanpa izin konsesi Otoritas Pelabuhan dari Menteri Perhubungan, RJ Lino nekat memutuskan untuk menandatangani perpanjangan kontrak JICT pada Juli 2015," ungkapnya.
Padahal, perpanjangan kontrak itu tidak tercantum dalam RKAP dan RLIPS Pelindo II 2015 . Komposisi saham tidak berubah, Pelindo II sebesar 48,9%, Kopegmar 0,10%, dan HPH tetap memegang saham mayoritas sebesar 51%. Jangka waktu berakhimya konsesi menjadi tahun 2039, dengan nilai penjualan saat perpanjangan kontrak sebesar US$ 215 juta.
"Keputusan sepihak dalam memperpanjang kontrak JICT dilakukan oleh RJ Lino, yang didukung sepenuhnya oleh Menteri BUMN Rini Soemarno telah melanggar Peraturan Perundangan, di antaranya UU tentang BUMN yang menyebutkan bahwa tidak ada nomenklatur tentang izin prinsip yang dikeluarkan oleh menteri BUMN. Kemudian Keputusan Menteri BUMN tentang Penyusunan RKAP. Selain itu, juga pelanggaran atas UU tentang Pelayaran dan PP No 61/2009 tentang Pelayaran.
"Dalam hal perpanjangan kontrak yang melibatkan pihak ketiga, seharusnya mendapatkan izin konsesi terlebih dahulu dari Kementerian Perhubungan cq. Otoritas Pelabuhan Utama Tanjung Priok," tukasnya.
Selain melanggar peraturan Perundangan, lanjut dia, perpanjangan kontrak JICT juga merugikan Negara. Dia menjelaskan, nilai jual perpanjangan JICT pada 2015 sebesar US$ 215 itu lebih kecil dari nilai penjualan 20 tahun lalu sebesar US$ 231 juta.
"Jika kontrak tidak diperpanjang, pendapatan Pelindo II sampai dengan 2019 sebesar Rp 2,99 triliun, sedangkan penghasilan sampai dengan 2039 mencapai Rp 36,5 triliun, total penghasilan Pelindo II sebesar Rp 39,49 triliun. Jika kontrak diperparjang, pendapatan Pelindo II sampai dengan 2019 sebesar Rp2,99 triliun, penghasilan sampai 2039 Rp 17,89 triliun. Total penghasilan Pelindo II sebesar Rp20,85, lebih kecil dibanding pendapatan jika kontrak tidak diperpanjang," jelas mantan Anggota Tim Anti-Mafia Migas ini.
Untuk itu, berhubung perpanjangan kontrak JICT melanggar perundangan dan merugikan Negara, dia mendesak kepada pemerintah untuk membatalkan kontrak perpanjangan JICT yang telah ditandatangani Direktur Utama Pelindo II RI Lino pada Juli 2015.
Dan sebagai pertanggungjawaban, dia juga mendesak Rini Soemarno untuk mengundurkan diri sebagai Menteri BUMN, karena perbuatannya telah melakukan pembiaran dan menudukung upaya Direktur Utama Pelindo II dalam perpanjangan kontrak JICT.
Dan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi, dia meminta untuk mengusut secara tuntas semua pihak yang terlibat dalam pengambilan keputusan Perpanjangan JICT, yang diduga kuat melanggar perundangan dan merugikan Negara.