Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Bisnis

Revisi UU PPh, Perusahaan Rugi Tetap Bayar Pajak

Kebijakan itu akan masuk dalam revisi Undang-undang Pajak Penghasilan (PPh).

Editor: Choirul Arifin
zoom-in Revisi UU PPh, Perusahaan Rugi Tetap Bayar Pajak
TRIBUN JABAR/GANI KURNIAWAN
Dari kiri ke kanan, Kepala Cabang PT Jasa Raharja Jabar Deliya Indra, Kepala Dinas Pendapatan Provinsi Jabar Dadang Suharto, Dirlantas Polda Metro Jaya Kombes Risyapudin Nursin, dan Didektur Komersial Bank BJB Suartini, memperlihatkan nota kesepahaman yang sudah ditandatangani terkait perjanjian kerjasama layanan pembayaran Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) di Kantor Pusat Bank BJB, Jalan Naripan, Kota Bandung, Jumat (19/2/2016). Dengan perjanjian kerjasama ini, pembayaran PKB untuk wilayah Bekasi dan Depok yang masuk wilayah Hukum Polda Metro Jaya kini bisa melalui layanan E-Samsat Jabar dan jaringan ATM Bank BJB di seluruh Indonesia. TRIBUN JABAR/GANI KURNIAWAN 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA- Nantinya, tidak ada lagi alasan bagi wajib pajak badan untuk terbebas dari membayar pajak. Sekalipun perusahaan merugi, juga akan wajib bayar pajak.

Rencananya, kebijakan itu akan masuk dalam revisi Undang-undang Pajak Penghasilan (PPh). Di UU PPH yang berlaku sekarang, perusahaan bebas dari beban pajak jika merugi.

Staf Ahli Bidang Kebijakan Penerimaan Negara Kementerian Keuangan Asteria Primanto Bhakti mengatakan, rencana ini sejak dikaji dan akan dimasukan dalam perubahan Undang-undangn tentang PPh. Dengan menerapkan pajak minimum, maka negara tetap tidak akan kehilangan potensi penerimaan pajak meskipun kondisi ekonomi tengah lesu.

Ketika ekonomi lsu, biasanya akan diikuti turunnya profit dari semua korporasi. Nah, trend itulah yang biasanya dijadikan alasan oleh perusahaan untuk tidak membayar pajak dan menyerahkan laporan keuangan, yang menunjukan perusahaan merugi.

Saat ini, tarif PPh badan yang berlaku di Indonesia sebesar 28% terhadap Penghasilan Kena Pajak (PKP). Alternatif minimum tax merupakan konsep pajak yang sudah berlaku di beberapa negara di eropa.

Nantinya besaran pajak minimum yang harus dibayarkan bisa ditetapkan berdasarkan penghasilan alias omzet perusahaan, atau omzet setelah dikurangi oleh natura, atau item yang mengurangi pajak kemudian dikalikan dengan tarif minimum. "Kita masih mengkaji besarannya," kata Asteria, Kamis (3/3) di Jakarta.

Pemerintah memang mengaku akan melakukan perubahan besar-besaran dalam sistem perpajakan nasional, salah satunya dengan revisi UU PPh. Selain itu, pada tahun 2016 ini pemerintah juga akan mengajukan perubahan UU Ketentuan Umum Perpajakan (KUP) dan RUU tax amnesty.

Berita Rekomendasi

Pengamat pajak dari Universitas Indonesia Gunadi mengatakan kebijakan itu memang bisa menjaga penerimaan negara. Namun, lebih baik tarifnya jangan terlalu tinggi, paling tidak sekitar 1%.

Sementara pengamat perpajakan dari CITA Yustinus Prastowo menilai skema alternatif minimum tax ini tidak tepat jika dilakukan. Lebih baik, pemerintah membuat benchmark dengan menggunakan data rata-rata kinerja keuangan di masing-masing Industri.

Jika, ada perusahaan yang memiliki profit margin di bawah rata-rata maka pajak bisa langsung menyelidikinya. Dengan begitu, kehawatiran adanya perusahaan yang bermain-main dengan data pajaknya bisa diminimalisir.

 
Reporter Asep Munazat Zatnika
Editor Adi Wikanto

Sumber: Kontan
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas