Masyarakat Mulai Protes Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan
kenaikan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan itu belum disertai dengan perbaikan pelayanan
Editor: Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kenaikan iuran Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) bagi peserta bukan penerima upah (PBPU) alias pekerja mandiri, termasuk pengusaha kecil menengah, mulai disoal.
Sebab, kenaikan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan itu belum disertai dengan perbaikan pelayanan.
Salah satu yang keberatan dengan kenaikan iuran tersebut adalah Ricky K. Margono. Pria yang berprofesi sebagai pengacara ini mengaku keberatan dengan tarif tersebut. "Terasa juga kalo kenaikannya hampir dua kali lipat," ungkap dia saat dihubungi Kontan, Minggu (13/3/2016).
Selama ini Ricky membayar iuran JKN per bulan sebesar Rp 59.500 sebagai peserta kelas I, namun per 1 April naik jadi Rp 80.000 per bulan. Menurut Ricky, sah-sah saja jika iuran dinaikkan asal dibarengi dengan perbaikan fasilitas kesehatan.
Jika tidak, ia khawatir kenaikan di golongan ini hanya ditujukan menambal kekurangan anggaran BPJS Kesehatan.
Pekerja mandiri lainnya, Asep Saefudin, meminta kenaikan iuran ini dibarengi dengan kemudahan layanan bagi peserta.
Editor dan video maker lepas, itu mengusulkan, pasien yang telah memiliki riwayat penyakit tertentu dan akan mengobati penyakit yang sama tak perlu melalui puskesmas, melainkan langsung ke rumah sakit untuk mendapatkan pelayanan.
Kerjasama dengan rumah sakit juga harus diperbanyak untuk mengurangi antrean. "Sekarang antreannya panjang sekali jika ingin rawat inap," kata Asep, kemarin.
Sebagai catatan, selain menaikkan iuran pekerja mandiri, ada sejumlah perubahan lainnya.
Pertama, pemerintah menamakan kartu BPJS Kesehatan menjadi Kartu Indonesia Sehat (KIS), kartu kesehatan ala Presiden Joko Widodo saat kampanye dulu. Ini diatur di Peraturan Presiden Nomor 19/2016 pasal 12 ayat 2.
Kedua, pemerintah mengubah batasan gaji maksimal yang jadi dasar hitungan iuran dari 2 x Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) menjadi berdasarkan gaji bulanan dengan angka maksimal Rp 8 juta per bulan.
Timboel Siregar, Koordinator BPJS Watch menilai, penetapan iuran peserta BPJS Kesehatan tak adil dan tidak memenuhi semangat gotong royong. Cara ini juga tak efektif menutupi defisit BPJS Kesehatan.
Menurut Timboel, perubahan penghitungan batasan gaji dari semula berdasarkan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) jadi berdasarkan gaji ini kurang adil. "Ketika pekerja penerima upah gajinya lebih dari Rp 10 juta hingga Rp 20 juta, tapi iurannya dihitung hanya Rp 8 juta," ujarnya.
Toh, pengusaha setuju dengan kenaikan ini. Sekretaris Jenderal Apindo Sanny Iskandar menilai tepat kenaikan iuran peserta mandiri. (Agus Triyono, Muhammad Yazid, Sinar Putri S.Utami)