Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Bisnis

Usai Gelombang PHK, Investor Energi dan Tambang Global Mulai Review Portofolio di Indonesia

Kondisi bisnis global saat ini mempengaruhi harga komoditas sehingga mengalami penurunan signifikan terutama sepanjang 2015.

Editor: Hasanudin Aco
zoom-in Usai Gelombang PHK, Investor Energi dan Tambang Global Mulai Review Portofolio di Indonesia
Ilustrasi pekerja Tambang. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Petaka di sektor energi dan tambang masih akan terus berlanjut. Setelah gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang masih terus membayang, kini perusahaan-perusahaan tambang dan migas global di dalam negeri mulai mempertimbangkan memindahkan portofolio mereka di Indonesia.

Yang terbaru dialami INPEX Indonesia. Operator Blok Masela itu memutuskan akan mengurangi jumlah karyawan. Menurut pernyataan SKK Migas pada Rabu malam (16/3) kemarin, INPEX Indonesia telah memutuskan untuk melakukan downsizing personil menjadi 40% dari total personil di Indonesia. Bahkan SKK Migas mengkhawatirkan hal ini dapat menimbulkan lay off. Hal ini menambah panjang daftar perusahaan global sektor tambang dan migas di Indonesia yang melakukan hal serupa.

Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Supriatna Sahala menyatakan, perusahaan-perusahaan sektor tambang dan migas skala global mulai me-review portofolio bisnis mereka di Indonesia. Bila dimungkinkan, mereka akan fokus ke lokasi-lokasi pertambangan mereka di negara lain yang lebih mendatangkan benefit.

“Sekarang kuncinya adalah efisiensi perusahaan, karena bagi mereka yang penting bisa bayar utang bank dan operasional terus berjalan. Perusahaan-perusahaan juga sekarang pun banyak yang me-review portofolio mereka,” kata Supriatna, saat dihubungi, Kamis (17/3/2016) di Jakarta.

Review portofolio dilakukan mengingat kondisi industri tambang dan migas yang kian mengkhawatirkan. Review portofolio perusahaan juga dilakukan untuk memastikan perusahaan tetap efisien karena mereka juga berupaya sekuat mungkin mencegah PHK karena pemberian pesangon juga memberatkan perusahaan.

Di negara-negara lain, gelombang PHK menerjang perusahaan-perusahaan global. Heillong Longmay Mining asal Chinatelah memberhentikan 100.000 orang karyawan. Schlumberger, Chevron, Halliburton dan Chevron di Amerika Serikat masing-masing telah mem-PHK 34.000 orang, 20.000 orang, dan 1.500 orang (lihat infografik).

Di dalam negeri pun demikian. Di sektor migas, pada Februari 2016 lalu PT Chevron Pacific Indonesia sudah resmi mengirimkan surat rencana PHK terhadap 1.200 karyawannya kepada Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas (SKK Migas).

Di sektor tambang batubara, dalam enam bulan terakhir sudah lebih dari 125 perusahaan di Kalimantan Timur yang tidak beroperasi dan menyebabkan ribuan orang terkena PHK. Gelombang PHK berpotensi terus terjadi mengingat harga komoditas energi masih memburuk.

Supriatna berharap pemerintah bisa segera merespon kondisi ini. Sebab, bukan tidak mungkin ini menjadi titik awal keterpurukan industri tambang dan migas Indonesia yang bakal merembet ke berbagai sektor bisnis lainnya. “Kalau tidak justru akan merugikan pemerintah sendiri, seperti kekurangan lapangan kerja dan menurunnya kepercayaan investasi,” kata Supriatna.

Menurut Supriatna, pemerintah harus memberi insentif dan kemudahan bagi perusahaan sektor tambang dan energi yang tetap berkomitmen berinvestasi di Indonesia. Salah satu caranya adalah dengan memberikan keringanan pajak.

“Keringanan pajak tidak perlu dengan menghapus pungutan atau pembebasan pajak seperti di Australia, tapi cukup dengan tidak ada kenaikan pajak yang lain seperti PBB atau PNBP,” tutur Supriatna.

Corporate Secretary PT Tambang Batubara Bukit Asam Tbk (PTBA), Joko Pramono mengakui saat ini situasi bisnis sektor energi sangat sulit. Sehingga, perusahaan-perusahaan sektor energi melakukan efisiensi besar-besaran.

Kondisi bisnis global saat ini mempengaruhi harga komoditas sehingga mengalami penurunan signifikan terutama sepanjang 2015. “Kita seperti kembali pada kondisi 2009 – 2010. Pada 2011 kita sudah diprediksi akan ada penurunan secara global, tapi tidak sedalam ini,” kata Joko saat dihubungi.

Kesulitan tidak hanya dialami perusahaan batubara di Indonesia, tapi juga di Australia, China, dan negara-negara produsen batubara lainnya. Yang bisa dilakukan adalah melakukan efisiensi terutama mengendalikan biaya produksi, serta optimasi, juga menunda investasi.

Dalam kondisi saat ini, pihaknya berharap pemerintah tidak mengeluarkan kebijakan yang kontradiktif seperti pajak. Sebaliknya, pemerintah memberikan sejumlah insentif dan mendukung lahirnya coal utilization.

Hal senada diungkapkan Director of Corporate Affairs BHP Billiton, Imelda Adhisaputra. Menurut dia, bisnis tambang secara global memang dalam kondisi kurang baik terutama tambang batu bara. Oleh karena itu, wajar saja sebagai entitas bisnis berskala internasional apabila induk usaha mereka, yakni BHP Billiton yang berbasis di Australia, mempertimbangkan untuk mengkaji dan me-review kembali nilai keekonomian proyek-proyek mereka di seluruh dunia.

“Namun untuk di Indonesia, PT Lahai Coal melalui tambang Haju malah memulai operasi nya pertengahan tahun lalu dengan target 1 juta ton/tahun. Kami berharap bisa mempertahankan komitmen kami dalam memberikan kontribusi terhadap kemajuan ekonomi lokal dan nasional Indonesia,” kata Imelda.

Di Indonesia, BHP Billiton memegang konsesi pertambangan batubara melalui PT Indomet Coal. Saat ini IndoMet Coal memegang tujuh Konsesi Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) proyek batubara di Kalimantan, yakni PT Lahai Coal, PT Ratah Coal, PT Juloi Coal, PT Pari Coal, PT Sumber Barito Coal, PT Kalteng Coal dan PT Maruwai Coal. Sebagian besar mereka menambang batubara jenis metallurgical coal. ***

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di

Wiki Populer

© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas