Kenakan Pajak Impor CPO Asal Indonesia, Kemendag RI Akan Gugat Prancis ke WTO
Indonesia tetap menggugat kebijakan Prancis yang merugikan industri CPO dalam negeri tersebut ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Editor: Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA- Prancis memang menunjukkan sikap melunak terkait kebijakannya mengenakan pajak tambahan sepihak atas produk minyak sawit atau crude palm oil (CPO) yang diimpornya dari Indonesia.
Namun, Indonesia tetap menggugat kebijakan Prancis yang merugikan industri CPO dalam negeri tersebut ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Musdhalifah Machmud, Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Pertanian Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian mengatakan, Prancis telah mengabaikan segala upaya yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia.
Sebelumnya, Pemerintah Indonesia gencar melobi parlemen Prancis agar batal menerapkan pajak progresif ekspor CPO. "Sepengetahuan saya, tahap lanjut ke WTO dilakukan setelah tidak tembus upaya negosiasinya," ungkap Musdhalifah, Selasa (22/3).
Ia mengatakan, yang memiliki kewenangan mengajukan gugatan ke WTO adalah Kementerian Perdagangan (Kemdag). Oleh karena itu, Kemdag yang akan memutuskan jadi tidaknya pengajuan gugatan ke WTO.
"Sejauh ini kami belum membahas lagi mengenai hal tersebut," imbuh Musdhalifah.
Direktur Jenderal (Dirjen) Kerjasama Perdagangan Internasional Kemdag Iman Pambagyo menandaskan bahwa Kemdag siap menggugat keputusan Prancis ke WTO.
Pertimbangannya, keputusan Prancis yang mengenakan pajak tambahan bagi CPO dan produk turunannya tergolong diskriminatif.
Siapkan diri
Saat ini, pemerintah tengah mempersiapkan gugatan tersebut. Indonesia akan menyeret Prancis ke WTO begitu beleid pajak progresif CPO Prancis terbit pada Juni mendatang.
Sebab, gugatan hanya bisa dilayangkan ke WTO setelah Prancis merilis peraturan pajak tersebut.
Sejauh ini, Iman menyatakan, Kemdag tengah mengamati secara intensif perkembangan penerapan pajak progresif CPO Prancis. Kemdag menemukan banyak hal yang belum jelas terkait bagaimana Prancis akan memberlakukan pajak itu.
"Namun kami tetap berpendapat, penerapan pajak itu melanggar national treatment dan non discrimination," tuturnya.
Pemerintah juga melihat pajak tambahan itu tergolong diskriminatif lantaran hanya berlaku terhadap produk CPO dan turunannya.