Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Bisnis

Industri: Silakan Cukai Rokok Naik Lagi, Tapi 6 Persen Saja

"Sebelum tiga enam bulan kami sudah ada perundingan-perundingan."

Penulis: Choirul Arifin
zoom-in Industri: Silakan Cukai Rokok Naik Lagi, Tapi 6 Persen Saja
AMTI.ID
Pengolahan tembakau di industri rokok. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA- Kementerian Keuangan (Kemenkeu) akan menaikkan tarif cukai rokok tahun depan untuk menutup defisit APBN.

Jika benar direalisasikan, kenaikan ini akan terjadi berturut-turut mengingat tahun ini cukai sudah naik 11,19 persen.

Ketua Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) Ismanu Soemiran menilai, menaikkan cukai rokok sudah seperti rutinitas Pemerintah setiap akan menghadapi pergantian tahun anggaran.

Misalnya, jika tarif cukai baru berlaku mulai 1 Januari 2017, maka proses penyediaan pita cukai sudah berlangsung selama tiga hingga enam bulan sebelumnya.

"Sebelum tiga enam bulan kami sudah ada perundingan-perundingan," ujar Ismanu Soemiran dalam keterangan persnya, Selasa (17/5/2016).

Ismanu mengingatkan, saat ini industri hasil tembakau (IHT) menghadapi situasi pasar yang pelik setelah terpukul oleh kenaikkan cukai tahun 2015 lalu antara 12 persen sampai 16 persen.

Kenaikan cukai itu membuat pasar rokok menurun. Menurutnya, beban lebih berat lagi dirasakan industri rokok, karena harus membayar cukai di muka.  Pembelian pita cukai Januari dan Februari tahun 2016 harus dilakukan pada Desember 2015.

Berita Rekomendasi

"Saya berharap pemerintah memaklumi kondisi industri saat ini. Dengaan kenaikkan cukai rokok tahun ini sebesar 11 persen lebih, kondisi ini makin berat bagi industri," ujar Ismanu.

"Pemerintah jangan coba-coba berpikir dengan harga rokok tinggi, produksi industri hasil tembakau akan turun. Itu keliru," tegasnya.

Menurutnya, karakter industri rokok kretek di Indonesia sangat berbeda. Di sini sangat mudah membuat rokok. Misalkan satu keluarga bisa membuat rokok seratusan batang sehari, ini juga akan menjadi masalah karena dari sisi cukai tidak terkontrol.

"Kretek itu khas karena bahan bakunya mudah didapat, juga banyak tenaga kerja yang belum terserap oleh sektor formal," ujarnya.

Khusus untuk Sigaret Kretek Mesin (SKM), komponen yang dibayarkan ke negara untuk harga per batang rokok, jika dikalkukasi dari pembayaran cukai ke negara ditambah pajak daerah dan retribusi daerah (PDRD), besaran pajak yang dibayar IHT  hampir mencapai 70 persen. "Jumlah itu sudah sangat besar," katanya.

Jika Pemerintah tetap ngotot menaikkan cukai tahun depan, HT berharap kenaikannya di kisaran 5-6 persen agar pemerintah terhindar dari potensi kehilangan pendapatan cukai karena maraknya rokok ilegal alias rokok tanpa cukai.

Selain itu, buruh pabrik rokok juga terhindar dari ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK).

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Enny Sri Hartati berpendapat, pemerintah sebaiknya lebih fokus melakukan ekstensifikasi cukai agar tidak terus-menerus bergantung terhadap cukai rokok.

Menurutnya, Pemerintah perlu  segera mengharmonikan agar industri tidak dirugikan oleh maraknya kampanye negatif tembakau.

"Jika semua konsisten, tidak ada saling gesek, kalau kemudian misal ada anak kecil merokok, ya bukan industri yang salah. Itu kegagalan pemerintah dalam menjaga distribusi rokok," tegas Enny.

Enny berpendapat, penggiat anti tembakau tidak bisa mengatasnamakan kepentingan sendiri, kemudian menafikan kepentingan lain.

Industri tembakau tidak dilarang oleh negara, justru dikenakan cukai sebagai instrumen pengendalian.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas