Pengamat: RUU Migas Sebaiknya Tolak BUMN Khusus
Pembahasan Rancangan Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi sebaiknya meniadakan rencana pembentukan BUMN Khusus bidang migas.
Editor: Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pembahasan Rancangan Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi sebaiknya meniadakan rencana pembentukan BUMN Khusus bidang migas.
Pasalnya, hal ini tidak sesuai dengan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK).
"Jika tidak maka UU Migas yang baru nanti akan senasib dengan UU saat ini. Hari ini disahkan, besok langsung dilakukan 'judicial review'. Yang saya pahami beberapa LSM sudah siap melakukan gugatan kepada MK jika ada BUMN Khusus," kata pengamat ekonomi energi Universitas Indonesia (UI) Berly Martawardaya di Jakarta, Kamis (2/6/2016)
Dia mengatakan hal itu mengomentari skema penguatan Pertamina dalam RUU Migas.
Menurut Berly jika keberadaan BUMN Khusus dipaksakan, maka tidak hanya lemah secara hukum.
Selain itu, lanjut dia, BUMN Khusus sangat lemah secara finansial dan bahkan menyebabkan kerugian.
Keberadaan BUMN Khusus membuat cadangan migas Indonesia tidak bisa dicatatkan di Pertamina, sehingga potensi monetisasi tidak bisa segera terwujud.
"Lebih jauh, Pertamina juga tidak bisa melakukan ekspansi," katanya.
Dalam konteks itu pula, Berly mendesak DPR agar UU Migas yang baru, segera menjadikan Pertamina sebagai NOC yang memegang kuasa tambang. Sedangkan SKK Migas sendiri, bisa berada di bawah unit Pertamina.
Dengan berada di bawah Pertamina, maka SKK Migas bisa melakukan tugas untuk menyelesaikan kontrak dengan pihak asing.
Ketua Komisi VII Gus Irawan Pasaribu sependapat bahwa RUU Migas memang harus segera disahkan. UU yang ada saat ini sudah sangat liberal, dan terlalu berpihak pada kepentingan asing.
Padahal di sisi lain, semangat Komisi VII justru sesuai dengan Pasal 33 UUD 1945, ayat 1, 2, dan 3. "Untuk itulah Komisi VII ingin mengembalikan Pertamina seperti masa lalu," katanya.
Irawan menjelaskan, menjadikan Pertamina kuat dan memiliki kuasa tambang adalah keharusan.
Sebab, jika mengacu pada UU saat ini, kedudukan Pertamina tidak ubahnya seperti Chevron, Conoco Philips, dan kontraktor asing lain.
"Ini tentu saja paradoks. Karena di satu sisi produksi kita terus turun, namun di sisi lain kebutuhan akan energi semakin besar," katanya.
Itulah sebabnya, terdapat beberapa hal yang bisa dilakukaan melalui pembahasan RUU Migas. Pertama, soal kuasa tambang, Komisi VII ingin agar Pertamina menjadi pemimpin di sektor ini. Tidak seperti saat ini, ketika kedudukan Pertamina sejajar dengan kontraktor asing.
"Posisi Pertamina harus kita perkuat. Dia boleh bekerja sama dengan kontraktor asing lain, tapi Pertamina harus tetap menjadi leader," katanya.