Bisnis SPBG di Indonesia Belum Menguntungkan
“Sekarang ini kan SPBG utilitasnya rendah, di bawah 10 persen."
Editor: Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA- Gas alam terkompresi (CNG) sebagai salah satu alternatif bahan bakar belum sukses memikat hati masyarakat.
Dampaknya, bisnis ritel lewat SPBG (stasiun pengisian bahan bakar gas) jadi dipandang belum menguntungkan.
Masalahnya pada regulasi, kata Adiatma Sardjito Corporate Secretary Pertamina Gas, di Jakarta, Senin (13/6/2016).
Dia menjelaskan, saat ini mobil berbahan bakar CNG jumlahnya sangat terbatas, hingga pemanfaatan SPBG sangat rendah.
“Sekarang ini kan SPBG utilitasnya rendah, di bawah 10 persen,” kata Adiatma.
Pertamina Gas lewat anak perusahaannya, Pertagas Niaga, mengoperasikan lebih dari 30 SPBG yang terkonsentrasi di Jakarta dan sekitarnya.
“Memang kalau di industri otomotif masalah utamanya bukan di situ, tapi regulasi belum mendukung setiap mobil baru menggunkan gas. Kalau misalnya sudah ditetapkan mobil baru harus pakai gas otomatis SPBG-nya hidup,” ujarnya lagi.
Pemerintah sempat mendorong konversi bahan bakar ke arah gas seperti CNG.
Lompatan awal diterapkan dulu pada mobil-mobil operasional pemerintah dan angkutan jalan, misalnya transjakarta dan Bajaj.
Seiring waktu, pasarnya hanya itu-itu saja.
SPBU tetap sepi peminat karena produsen otomotif belum bergerak menawarkan mobil CNG dan konsumen masih enggan memakai converter kit biar mobil lama bisa berbahan bakar CNG.
“Itu sebenarnya tergantung regulasi. SPBG sudah banyak, tetapi utilitasnya rendah. Sekarang bagaimana kami mau investasi dan itu tidak kembali,” kata Adiatma.
Pandangan lain, sambung Adiatma, pihak swasta belum ada yang mau masuk ke bisnis SPBG.
Penulis: Febri Ardani Saragih