Pasarnya Menggiurkan, Asing Siap-siap Masuk ke Bisnis Sweetener
Asing berminat masuk karena selama ini mereka rutin mengekspor 2.000 ton pemanis ke Indonesia setiap tahunnya.
Editor: Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA- Geliat investor asing untuk menanamkan modalnya di bisnis makanan dan minuman ternyata masih cukup besar.
Baru-baru ini, perusahaan Tiongkok dari kota Yixing, Provinsi Jiangsu, ingin berinvestasi US$ 20 juta untuk membangun pabrik pemanis buatan di Indonesia.
Asing berminat masuk karena selama ini mereka rutin mengekspor 2.000 ton pemanis ke Indonesia setiap tahunnya.
"Perusahaan itu berminat investasi dengan kapasitas produksi 4.000 ton pemanis per tahun dan membutuhkan lahan 2,5-3 ha," kata Franky Sibarani, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), tanpa menyebut nama perusahaan pemanis, akhir pekan lalu.
Saat ini perusahaan tersebut tengah mencarian lokasi pendirian pabrik.
"Ada beberapa alternatif lokasi yang mengemuka, namun perusahaan mengincar lahan di Provinsi Jawa Barat," terang Fanky.
Ketua Gabungan Pengusaha Industri Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) Adhi S. Lukman mengatakan, kedatangan pemain asing akan membuka pilihan produk pemanis bagi industri makanan dan minuman dalam negeri.
"Saya kira bagus karena kita juga bisa kurangi impor apalagi bahan bakunya dari dalam negeri," kata Adhi.
Investor Relations PT Lautan Luas Tbk, Eurika Hadijaja berpandangan sama.
Meski mengeluhkan kondisi pasar pemanis yang sedang lesu, dia menilai investor asing bisa jadi sebagai pertanda bahwa bisnis pemanis akan berkibar lagi.
"Kami percaya masing-masing perusahaan punya pangsa pasar sendiri," kata Eurika.
Asal tahu saja, PT Lautan Luas Tbk melalui anak usahanya PT Lautan Sweetener Indonesia telah menunda pembangunan pabrik tahun ini karena lesunya pasar pemanis. "Kondisi ekonomi Indonesia yang cenderung melemah, perseroan memutuskan menunda pembangunannya," jelas Eurika.
Bahan baku impor
Meski produk pemanis punya pasar luas untuk industri makanan dan minuman, bahan baku industri ini ternyata masih mengandalkan impor.