Keberadaan OTT Harus Lebih Dikhawatirkan Dibanding Tarif Interkoneksi
Ibrahim adalah doktor ICT asal Indonesia lulusan Swedia, yang lama berkecimpung di urusan regulasi telekomunikasi Eropa
Penulis: Hendra Gunawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Keberadaan para pemain over the top (OTT) harus lebih dikhawatirkan dalam persaingan usaha telekomunikasi ketimbang dengan tarif interkoneksi.
"Di Indonesia yang diributkan masih soal interkoneksi. Padahal sekarang di luar sana yang jadi concern adalah soal OTT," kata Ibrahim Kholilul Rohman, Senin (15/8/2016).
Ibrahim adalah doktor ICT asal Indonesia lulusan Swedia, yang lama berkecimpung di urusan regulasi telekomunikasi Eropa.
OTT seperti WhatsApp, Line, Skype, dan lain telah menggurita dalam beberapa tahun terakhir, layanan telekomunikasi seperti voice call dan SMS justru jadi korban. Imbasnya, pendapatan operator pun tergerus.
Namun di sisi lain, pendapatan dari sisi trafik data jadi meningkat. Tren seperti ini, menurut Ibrahim, memang tak bisa dihindari lagi.
Jadi ketimbang operator berselisih paham tentang penurunan biaya interkoneksi, yang dinilainya justru demi mendorong kembali trafik penggunaan voice lintas operator, Ibrahim justru mengimbau kepada operator agar berpikir jauh ke depan.
"Operator harusnya think beyond telco. Mereka harusnya lebih concern mengantisipasi isu soal OTT dan bagaimana memanfaatkan kondisi ini untuk mendorong ekonomi digital," papar Ibrahim yang dalam tiga tahun terakhir ini tinggal di Madrid, Spanyol.
Di Eropa sendiri, menurutnya, saat ini Europe Commission (EC) juga masih mengkaji terkait aturan untuk OTT. “Masih jadi perdebatan juga di sana dengan Google dan Yahoo. Soal aturan untuk mereka,” terangnya.
Masalah soal OTT ini juga sempat dibahas oleh Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara. Ia pernah mengatakan tengah mengkaji kemungkinan adanya aturan baru yang sedang menjadi bahan diskusi oleh EC di Eropa terkait OTT Internasional.
Menurutnya, EC sedang melihat kemungkinannya OTT internasional subjek kepada lisensi. Seperti halnya operator telekomunikasi. "Saya sendiri sedang mengikuti terus. Kalau misalnya di sana diberlakukan seperti itu, maka di Indonesia juga harus melakukan yang sama," katanya.
Oleh sebab itu, ia mendorong terus agar OTT Internasional seperti Twitter untuk memiliki badan hukum. Hal ini, kata dia, agar ketika nantinya kajian yang dilakukan oleh Eropa diterapkan, maka OTT Internasional sudah bisa melanjutkan izin lisensi.
Menurutnya, jika Eropa resmi menerapkan aturan tersebut pada tahun 2016, maka Indonesia secepatnya akan mengikuti langkah Uni Eropa.
"Kalau Eropa 2016 menerapkan, kita akan ikut. Secepatnya gak perlu tahun 2017. Saya juga akan siapkan kerangka peraturannya. Bahwa itu nanti aturannya berbentuk Peraturan Menteri atau apa belum tahu. Tapi begitu mereka terapkan kita ikuti," ujarnya.