Tergerus Taksi Daring, 50 Persen Taksi Reguler Tak Lagi Beroperasi
Organisasi Angkutan Darat (Organda) DKI Jakarta menuntut kepada pemerintah agar menutup aplikasi taksi berbasis aplikasi bagi yang melanggar.
Editor: Hendra Gunawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Organisasi Angkutan Darat (Organda) DKI Jakarta menuntut kepada pemerintah agar menutup aplikasi taksi berbasis aplikasi bagi yang melanggar.
Pasalnya, saat ini sudah sebanyak 50 persen dari 27.000 taksi reguler di Jakarta yang tak lagi beroperasi.
Maurit Siburian, Ketua Unit Taksi DPD Organda DKI Jakarta, mengatakan, Organda akan menuntut kepada pemerintah agar memperlakukan sama antara taksi daring dan taksi reguler.
“Memang penertiban sudah dilakukan. Tapi seberapa sering? Masih banyak taksi daring ilegal yang masih beroperasi. Padahal sudah ada aturannya, tapi sepenuhnya tidak mematuhi,” kata Maurit, usai Musyawarah Kerja Unit (Mukernit) Taksi II Tahun 2016 Organda DKI Jakarta, Kamis (18/8).
Menurut Maurit, Organda meminta kesetaraan bisnis dalam pengoperasian taksi berbasis aplikasi.
Pasalnya, dampak dengan adanya taksi daring, banyak taksi-taksi reguler yang mulai stop beroperasi.
“Pendapatan mereka menurun, terpaksa semua berhenti beroperasi. Akibatnya banyak pengangguran,” kata Maurit.
Maurit mengatakan, banyak sopir taksi daring yang hanya bekerja sampingan. Sementara sopir taksi reguler yang merupakan pekerjaan utama, kini semakin kesulitan mencari penumpang.
“Kami tidak anti taksi daring, tapi sekarang kenyataannya, jumlah taksi reguler ditambah taksi daring semakin banyak yang beroperasi. Sementara jumlah penumpangnya tidak bertambah. Sedangkan, sopir taksi daring hanya bekerja sambilan saja. Akibatnya, banyak sopir yang benar-benar sopir taksi, akhirnya menganggur,” kata Maurit.
Hal senada dikatakan oleh Shafruhan Sinungan, Ketua Organda DKI Jakarta, bahwa adanya taksi berbasis aplikasi, perusahaan taksi di Jakarta ambruk. Banyak perusahaan taksi yang tutup.
“Kami minta regulasinya dijalankan dulu. Kalau enggak lakukan kir, taksi daring tidak diperbolehkan operasi dulu. Blokir dulu aplikasinya. Kalau terbukti tiga kali melanggar, aplikasinya langsung ditutup!” kata Shafruhan.
Apalagi, saat ini taksi daring yang beredar juga tidak dikenakan pajak. Padahal potensi pajaknya cukup besar.
“Katakanlah mereka sehari bisa mendapatkan Rp 500.000. Jika pajaknya 10 persen maka dikenakan Rp 50.000. Dikalikan saja 10.000 taksi daring yang beroperasi dalam satu hari. Cukup besar kan?” kata Shafruhan.
Karena itu, untuk menghadapi serbuan taksi daring, Organda berkoordinasi dengan operator taksi agar pelayannya meningkat. Termasuk dengan meluncurkan layanan aplikasi MyTrip untuk pemesanan taksi daring melalui taksi reguler.