YLKI: Petani Tembakau Tak Punya Bargaining dengan Industri Rokok
"Mengaitkan dampak harga rokok dengan nasib petani dan ketenagakerjaan juga kurang ada relevansinya."
Penulis: Srihandriatmo Malau
Editor: Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA- Desakan agar harga rokok dimahalkan minimal Rp 50.000 per bungkus terus menguat.
Selain berdampak positif terhadap masyarakat dan negara, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menegaskan harga rokok yang mahal tidak akan berdampak signifikan terhadap sektor tenaga kerja dan atau petani tembakau.
"Mengaitkan dampak harga rokok dengan nasib petani dan ketenagakerjaan juga kurang ada relevansinya," tegas Ketua Pengurus Harian YLKI, Tulus Abadi, kepada Tribunnews.com, Selasa (23/8/2016).
Pasalnya, justru selama ini nasib petani tembakau terpinggirkan karena adanya impor karena adanya impor tembakau.
"Produksi rokok nasional 60 persennya dipasok dengan tembakau impor," ujarnya.
Hal inilah yang menurutnya yang menyebabkan tembakau lokal milik petani tidak tersedot ke pasaran.
"Petani tembakau tidak punya bargaining apapun dengan industri," jelasnya.
Nasib buruh industri tembakau juga sama saja menurut YLKI. Hak-haknya dilanggar oleh industri karena mayoritas masih menjadi buruh kontrak.
Dia ingatkan adanya PHK, karena industri rokok melakukan mekanisasi, mengganti buruh manusia dengan mesin.
"Dengan mesin lebih efisien, karena satu mesin bisa menggantikan 900 orang buruh. Jadi musuh petani dan buruh rokok itu bukan harga rokok, bukan kenaikan cukai, tetapi industri rokok sendiri," tegasnya.
Dari sisi masyarakat, adalah tidak masuk akal mengaitkan harga rokok mahal dengan daya beli masyarakat atau konsumen.
"Rokok adalah jenis komoditas barang yang dikenai cukai (bukan barang normal), yang justru harus dihindari masyarakat," tegas Tulus kepada Tribunnews.com, Selasa (23/8/2016).
Dia menambahkan, harga yang mahal adalah instrumen untuk memproteksi masyarakat agar tidak semakin terperosok pada dampak merusak rokok, baik secara individu, orang lain (perokok pasif) bahkan lingkungan.