Mahasiswa Indonesia Timur Menolak Rencana Pemberlakuan Tarif Interkoneksi
Sebagai Mahasiswa Indonesia Timur, dia merasa terpanggil untuk dapat menyuarakan kebenaran.
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Koalisi Mahasiswa Indonesia Timur Untuk Mengawal Nawacita (Komitmen) menolak rencana pemberlakuan tarif interkoneksi yang akan diberlakukan pemerintah.
"Penolakan ini sebagai wujud rasa peduli dan tanggung jawab selaku perwakilan mahasiswa Indonesia Timur yang tak ingin berdampak terhadap kerugian negara," ujar Koordinator Komitmen, Abdul Rohim di Jakarta, Jumat (2/9/2016),
Yang paling utamanya perusahaan milik negara akibat kerugian yang nantinya dialami PT Telkom dan Telkomsel atas pemberlakuan tarif interkoneksi yang baru.
Sementara itu, perwakilan Koalisi Mahasiswa Maluku, Abdul Rahim menyatakan, bahwa kebijakan terkait interkoneksi tak boleh merugikan penyelenggara telekomunikasi, apalagi setelah dia mendengar langsung paparan dari FSP-BUMN Strategis.
"Ini jelas akan membuat rugi operator telekomunikasi yang notabene adalah perusahaan negara. Bagi kami, hal ini sangat disayangkan,"sambungnya.
Saat ini kata dia, untuk kawasan Timur Indonesia, masih membutuhkan perluasan jaringan.
"Kami berharap pemerintah dapat fokus untuk dapat menyediakan layanan broadband hingga ke pelosok,"tandasnya.
Hal senada juga dikatakan Wakil Koalisi Mahasiswa dari NTT, Ahmad Nasir Rarasina. Dia enyampaikan terima kasih kepada Telkom yang terus membangun jaringan sampai ke daerah-daerah di NTT.
"Kami sangat mendukung setiap upaya membangun dan perluasan jaringan telekomunikasi yang dapat membantu masyarakat, serta penduduk di penjuru yang selama ini masih terisolasi akibat kesulitan dalam berkomunikasi,"ujarnya.
" Kami sangat respek terhadap apa yang disuarakan oleh Federasi Serikat Pekerja BUMN Strategis terhadap upaya menolak kebijakan yang secara substansi tidak menguntungkan masyarakat, bahkan ada potensi kerugian jika kebijakan ini benar-benar diberlakukan," sambungnya lagi.
Sebagai Mahasiswa Indonesia Timur, dia merasa terpanggil untuk dapat menyuarakan kebenaran. Oleh karena itu, dia tidak ingin masyarakat terjebak opini seolah-olah penurunan tarif interkoneksi menguntungkan masyarakat.
"Bagi kami tidak ada keuntungan karena sebagaimana catatan kami, komponen biaya interkoneksi hanya 10-15 persen dari tarif telepon. Bagaimana kami bisa berpikir untung, sementara untuk kawasan Timur Indonesia seperti di Papua saja, masih ada saudara kami yang belum menikmati jaringan telekomunikasi,"pungkasnya.
Sementara itu, Ketua FSP-BUMN Strategis Wisnu Adhi Wuryanto menyatakan akan terus menyuarakan penolakan terhadap rencana kebijakan Menkominfo tersebut.
Wisnu dalam pernyataannya mengatakan kebijakan interkoneksi ini juga akan diikuit dengan Revisi PP 52 dan 53 tahun 2000 terkait sharing network. Jika revisi terkait sharing network ini jalan, operator yang tidak membangun jaringan akan sangat diuntungkan.
"Dari sisi regulasi, kami menilai ini seperti memberi fasilitas kepada operator swasta asing secara berlebihan. Padahal didalam modern licensing, ada kewajiban setiap operator untuk membangun jaringan sesuai dengan yang mereka rencanakan. Jangan sampai regulasi ini merugikan operator yang telah bersusah payah membangun jaringan," ujarnya.