Pengamat Pertanyakan Efisiensi Mesin Pembangkit di Tender Kelistrikan 35.000 MW
"Jika indikatornya kompetensi dan track record, maka ada konsorsium lain dengan mesin yg lebih efisien yang bisa memenangi tender"
Penulis: Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Kalangan pengamat energi mempertanyakan efisiensi mesin pemenang tender di proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap dan Gas (PLTGU) Jawa 1. Antara lain menyangkut parameter dan indikator yang digunakan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) sebagai user di proyek kelistrikan berkapasitas 2 x 800 Mega Watt (MW) tersebut.
Gugatan itu datang dari pengamat energi dari Universitas Gadjah Mada, Fahmy Radhi. Menurut Fahmy PLN perlu lebih profesional dalam menyelesaikan tender proyek yang masuk dalam skema megaproyek 35.000 MW ini.
Menurutnya, pembalatan tender Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Jawa 5 mencitrakan PT PLN (Persero) kurang profesional dalam menggelar tender proyek ini.
Fahmy mencontohkan keikutsertaan anak usaha PT PLN (Persero), yakni PT Pembangkit Jawa Bali (PJB) di tender PLTGU Jawa 1. Padahal, lanjut Fahmy, ada peserta tender lain yang menawarkan efisiensi mesin, harga dan kompetensi yang lebih baik.
"Jika indikatornya kompetensi dan track record, maka ada konsorsium lain dengan mesin yg lebih efisien yang bisa memenangi tender," kata Fahmy, Selasa (27/9/2016).
Menurutnya, peserta tender seperti General Electric memiliki teknologi pembangkit listrik dan gas terbaru yang lebih efisien.
"PLN harus memilih pemenang tender proyek PLTGU 1 yang memang benar-benar terbaik. Silahkan dibuka secara transparan kepada publik,” ujar Fahmy yang juga mantan anggota tim Reformasi Tata Kelola Migas.
Teknologi pembangkit yang dipakai Mitsubishi diduga paling tua dibanding GE dan Siemens. Teknologi tersebut diperkirakan tahun 90-an. Sementara, teknologi yang ditawarkan Siemen dan GE baru lima tahun.
Soal perbandingan efisiensi ketiga mesin, Fahmy menyebutkan, mesin pembangkit GE memiliki angka efisiensi sekitar 62 persen, Siemens sekitar 60 persen, dan Mitsubishi 59 persen.
“Setiap 1 persen efisiensi kontribusinya bisa USD2 juta per tahun. Nah, apabila umur proyek 20 – 25 tahun, bisa dibayangkan berapa persen pemborosan uang negara,” kata dia.
Anggota DPR Komisi VII Kurtubi menyatakan, anak usaha PT PLN sebaiknya tidak ikut tender megaproyek kelistrikan yang melibatkan konsorsium perusahaan swasta asing.
Kurtubi beralasan, konsorsium membuat pembagian saham di proyek kelistrikan PLTGU Jawa 1 menjadi tidak bisa mayoritas dimiliki PT Pembangkit Jawa Bali (PJB).
Tender proyek kelistrikan PLTGU Jawa 1 diikuti empat konsorsium. Yakni konsorsium PT Pertamina bersama Marubeni, Sojitz, General Electric; konsorsium Medco bersama Korea Power Electric Corporation (Kepco) dan Nebras Power Qatar; konsorsium Mitsubishi, PJB, Rukun Raharja serta konsorsium Adaro bersama Sembcorp.
Kurtubi menyarankan agar PLN menggarap sendiri proyek PLTGU Jawa 1. Jika tidak ada dana, PLN bisa meminjam ke perbankan. Strategi ini bisa membuat PLN (Persero) sebagai entitas bisnis mengusai 100 persen proyek pembangkit tersebut.
Mengutip sebuah riset, Kurtubi menyebutkan, sekitar 70 persen harga listrik berasal dari komponen bahan bakar. Artinya, harga bahan bakar amat menentukan dalam penetapan harga jual listrik.
Karena itu, efisiensi mesin pembangkit menjadi sangat penting. "Makin efisien mesin pembangkit makin hemat pemakaian bahar bakar dan pada akhirnya makin hemat biaya atau harga listrik yang dijual oleh PLN kepada masyarakat," katanya.
Dia menambahkan, akan menjadi perhatian luas publik jika jika di kedua proyek kelistrikan, yakni di Tanjung Priok dan Muara Karang yang sudah ditandatangani kontrak engineering, procurement dan construction (EPC)-nya pada 29 Agustus 2016 lalu, mesin yang dipakai pemenang tender ternyata yang tidak efisien dibandingkan mesin yang saat ini tersedia di pasar.
Hal ini dimungkinkan terjadi jika dilakukan desain terms and condition sedemikian rupa, sehingga keunggulan teknologi dan efisiensi mesin menjadi tidak penting atau tidak dominan lagi sebagai bahan pertimbangan.
Dia menunjuk contoh, salah satu aspek yang bisa dimainkan adalah output produksi listrik diset atau didesain sedemikian rupa, sehingga cocok dengan engine tertentu.
Misalnya, desain output yang disyaratkan oleh PLN adalah 800 mw dari situ bisa terlihat apakah target output dibuat untuk menguntungkan penyedia mesin tersebut.
Jika di pembangkit Muara karang, kapasitas yang diminta PLN 500 MW dan itu cocok dengan kemampuan Mitsubishi dengan kapasitas engine 500 mw. Sedang jika mesin lain seperti Siemen kemampuannya adalah 600 mw dan Ansaldo 550, berarti terjadi kelebihan kapasitas dan tarifnya lebih mahal.
Sementara GE kapasitas mesinnya 550 mw, namun mereka tidak ikut tender.