KPPU Tegaskan Revisi UU Persaingan Usaha Tak Akan Hambat Pengusaha
Kasus persekongkolan usaha yang berhasil dituntaskan KPPU telah terbukti membawa dampak kerugian ke konsumen
Penulis: Dahlan Dahi
Editor: Hendra Gunawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menjamin rancangan UU Persaingan Usaha tidak akan menghambat atau menghalang-halangi kegiatan usaha. Justru sebaliknya, penguatan KPPU Akan memberikan kepastian hukum berusaha, meningkatkan iklim Investasi di Indonesia, menciptakan efisiensi Ekonomi dan produktifitas Nasional.
Sehingga, Penguatan KPPU Dalam usulan perubahan UU Nomor 5/1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat justru merupakan upaya KPPU untuk mendukung pertumbuhan perekonomian Tinggi di Indonesia.
Syarkawi Rauf, Ketua KPPU menjelaskan, pelaku usaha tidak perlu khawatir akan terhambat usahanya akibat perubahan sejumlah Pasal dalam RUU Persaingan Usaha. KPPU menjamin rancangan perubahan UU 5/99 ditujukan untuk membantu pelaku Usaha menciptakan kepastian hukum berusaha sehingga semua pelaku Usaha terlindungi hak-haknya.
"Misalnya, tentang perubahan pengenaan denda menjadi maksimal 30% Dari hasil penjualan. Pengenaannya tidak akan sembarangan karena KPPU punya formula perhitungan yang telah diuji obyektivitasnya, serta mengikuti best pratices yang telah berlaku di negara-negara lain," kata Syarkawi, Minggu (23/10).
Ia menjelaskan, praktik kartel atau persekongkolan usaha hingga sekarang ini masih banyak terjadi di berbagai sektor bisnis strategis. Bahkan, kasus persekongkolan usaha yang berhasil dituntaskan KPPU telah terbukti membawa dampak kerugian ke konsumen atau negara sampai triliunan rupiah, sehingga perlu penekanan dalam penegakan hukumnya.
Beberapa kasus yang telah diputuskan KPPU seperti distribusi garam, kartel pesan singkat atau SMS, penetapan harga ban, perdagangan sapi impor, pengaturan produksi bibit ayam pedaging (broiler). "Dampak negatif yang ditimbulkan dari praktik kartel tidak dapat dipandang sebelah mata, baik yang langsung dialami konsumen maupun kerugian Lainnya secara tidak langsung," ujar Syarkawi.
Menurut dia, praktik persaingan usaha tidak sehat ini mengakibatkan terjadinya inefisiensi alokasi sumber daya lantaran harga jual produk menjadi mahal. Sehingga, kalau dibiarkan terus terjadi akan membuat daya saing nasional sulit terangkat.
Oleh sebab itu, salah satu poin revisi UU Nomor 5/1999 yang tengah diperjuangkan KPPU, yaitu peningkatan sanksi bagi pelaku usaha yang terbukti melakukan praktek monopoli hingga 30% dari hasil penjualan. Saat ini, dalam UU yang berlaku denda yang dapat diberikan ke pelaku kartel hanya maksimal Rp 25 miliar.
Syarkawi berharap, dengan peningkatan denda ini akan memberikan efek jera kepada pelaku kartel. Selain itu, besaran denda yang masuk ke kas negara diharapkan dapat mengganti kerugian atau dampak negatif yang ditimbulkan akibat praktik kartel.
Terkait dengan persoalan merger dan akuisisi perusahaan, fungsi KPPU juga diharapkan mengalami perubahan. Syarkawi menjelaskan, UU persaingan usaha di banyak negara telah mewajibkan pelaku usaha yang hendak melakukan merger untuk memberitahukan rencana merger dan akuisisinya terlebih dahulu kepada KPPU sebelum merger atau akuisisi atau dikenal dengan istilah pre merger notification.
Syarkawi menilai, pemberlakuan post merger notification di Indonesia selama ini berpotensi merugikan pelaku usaha. Sebab, tidak menutup kemungkinan KPPU memerintahkan pelaku usaha yang telah melakukan merger untuk berpisah kembali dengan alasan merger tersebut dinilai anti persaingan. Padahal, biaya aksi korporasi ini membutuhkan dana yang tidak sedikit.
Oleh karena itu, KPPU sepakat dengan KOMISI VI DPR Ri yang mendorong Ke arah mekanisme pre merger notification dalam RUU Persaiangan Usaha. “Regim post merger notification ini tidak memenuhi azas keadilan dan tidak memberikan kepastian hukum bagi pelaku usaha” tegas Syarkawi.
Dalam perubahan UU Nomor 5/1999 juga memuat klausul mengenai penguatan kelembagaan KPPU. Syarkawi berharap, status kelembagaan ini juga akan memberikan kenyamanan bekerja bagi pegawai KPPU yang akhirnya bisa memperkuat institusinya.
Syarkawi menambahkan, modus praktik kartel dari waktu ke waktu terus mengalami perkembangan. Sehingga, KPPU sebagai lembaga penegak hukum persaingan usaha di Indonesia juga dituntut untuk bisa menyesuaikan diri demi menjaga keberlangsungan iklim persaingan usaha yang sehat.
"Sudah menjadi permasalahan yang serius dalam perkembangan modus praktik kartel, sekarang kesepakatan antar pelaku tak lagi dituangkan dalam perjanjian tertulis, bahkan tren-nya saat ini dibungkus dengan berlindung dibalik kebijakan pemerintah. Dengan kondisi ini, penguatan kewenangan KPPU untuk dapat mengungkap praktik-praktik kartel menjadi suatu kebutuhan mendesak yang harus segera dipenuhi," ujar Syarkawi.
Selain itu, KPPU juga menyetujui untuk mempertegas kewenangannya dalam perubahan UU Nomor 5 Tahun 1999, yaitu terhadap pelaku usaha yang tidak kooperatif KPPU dapat meminta bantuan penyidik untuk melakukan penggeledahan dan/atau penyitaan.
"Kami bukanlah lembaga superbody dan jauh dari kualifikasi sebagai lembaga superbody. KPPU merupakan lembaga quasi judisial, kewenangan KPPU dibatasi dalam lingkup administratif, sanksi yang dapat diberikan oleh KPPU pun hanya bersifat administratif saja sesuai dengan UU yang berlaku," jelas Syarkawi.
Dengan sejumlah klausul RUU Persaingan usaha ini, KPPU optimistis iklim kompetisi usaha yang sehat bisa tercapai di Tanah Air. Sehingga, akan meningkatkan dampak yang positif bagi semua pelaku usaha baik pelaku Usaha yang kecil maupun yang besar.
Rancangan UU ini juga diharapkan dapat menjaga keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan masyarakat atau konsumen di dalam koridor kepentingan perekonomian nasional. "Memang banyak pelaku usaha yang tidak rela otoritas KPPU diperkuat dengan perubahan UU ini, padahal esensinya, yaitu untuk menjamin kesempatan berusaha yang sama untuk semua level usaha baik besar maupun kecil, mendorong efisiensi, serta meningkatkan daya saing," ujar Syarkawi.