Ekonom: Perbankan Masih Sehat, Ajakan Rush Money di Media Sosial Tidak Akan Terjadi
Rush money bisa terjadi jika masyarakat sudah tidak percaya lagi terhadap institusi perbankan, misalnya bank akan mengalami kebangkrutan.
Penulis: Seno Tri Sulistiyono
Editor: Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ajakan menarik simpanan di bank secara besar-besaran (rush money) seperti yang saat ini beredar di media sosial diyakini tidak akan terjadi mengingat perbankan nasional saat ini dalam kondisi baik.
Kepala Ekonom Samuel Sekuritas, Lana Soelistianingsih mengatakan, rush money bisa terjadi jika masyarakat sudah tidak percaya lagi terhadap institusi perbankan, misalnya bank akan mengalami kebangkrutan.
Rush money pernah terjadi pada 1997-1998 dan menimpa Bank Central Asia (BCA) yang kemudian menyebabkan bank tersebut limbung karena sempat kehabisan dana.
"Bank mau bangkrut, masyarakat akan mengambil seluruh uangnya di ATM, jadi kepercayaan ke bank tidak ada," ujar Lana saat dihubungi, Jakarta, Jumat (18/11/2016).
Menurut Lana, jika rush money tersebut terjadi maka pastinya perbankan di Tanah Air akan kekeringan likuiditas atau ketersediaan dana, yang akhirnya menimbulkan kepanikan di masyarakat.
"Dampaknya itu bank kurang likuiditas, masyarakat mengambil uang di ATM ternyata habis uangnya dan ini menjadi panik dan berbondong-bondong ke bank," tutur Lana.
Lana melihat, gerakan rush money cenderung dilakukan jika masyarakat sudah tidak percaya lagi ke perbankan dan bukan disebabkan kondisi politik.
"Situasi politik tidak bisa membawa rush money, ini hanya orang-orang yang tidak bertanggung jawab saja (seruan rush money)," papar Lana.
Sebelumnya, Ketua Dewan Komisioner OJK Muliaman D Hadad menyakini, seruan rush money pada 25 November 2016 berbarengan aksi demo terkait dugaan penistaan agama tidak akan terjadi.
"Saya optimis tidak akan terjadi, karena tidak ada alasan untuk tarik dana. Industri keuangan kita dalam keadaan sehat," tutur Muliaman.