Analis: Ada Peluang Indosat dan XL Cetak Pendapatan Baru Jika Tarif Baru Interkoneksi Disepakati
Jika tarif baru interkoneksi terwujud, PT Indosat Ooredoo Tbk (ISAT) dan PT XL Axiata Tbk (EXCL) berpotensi mendapatkan keuntungan.
Editor: Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA- Kementerian Komunikasi dan Informatika kembali menunda rencana penurunan tarif interkoneksi rata-rata sebesar 26%.
Langkah ini demi mencari biaya interkoneksi yang dianggap adil bagi semua pihak.
Berdasarkan surat Kementerian Komunikasi dan Informatika Nomor S-1668/M.KOMINFO/PI.02.04/11/2016 tertanggal 2 November 2016, pembahasan tarif interkoneksi ditunda hingga tiga bulan ke depan, terhitung mulai 2 November 2016 lalu.
Analis BCA Sekuritas Aditya Eka Prakasa menilai, jika tarif baru interkoneksi terwujud, PT Indosat Ooredoo Tbk (ISAT) dan PT XL Axiata Tbk (EXCL) berpotensi mendapatkan keuntungan.
Sebab, kedua emiten ini belum banyak menciptakan pasar di luar Jawa. Hal itu berbeda dengan PT Telkomsel, yang sudah menguasai pangsa 85%.
Meski demikian, menurut Aditya, bila kelak tarif baru interkoneksi ditetapkan, dampak ke TLKM justru tidak terlalu besar. Pasalnya, pendapatan bisnis interkoneksi mereka kian menurun sejak beberapa tahun terakhir.
“Kami memproyeksikan, ke depan, pendapatan dan cost untuk interkoneksi terus turun karena pelanggan cenderung beralih ke free call dan chatting,” kata Aditya.
Aditya mencatat, pendapatan interkoneksi secara bertahap turun diikuti biaya interkoneksi yang lebih rendah setiap tahun. Pada 2013, TLKM meraih pendapatan interkoneksi Rp 4,84 triliun.
Di 2017, dia memprediksikan, pendapatan tersebut menyusut jadi Rp 4,05 triliun. Adapun pendapatan EXCL dari interkoneksi yang pada 2013 senilai Rp 3,03 triliun, diperkirakan turun menjadi Rp 2,02 triliun di 2017.
Sedangkan ISAT yang meraup Rp 2,43 dari interkoneksi pada 2013 ditaksir hanya akan meraup penghasilan sebesar Rp 1,50 triliun di 2017.
"Kami melihat hal ini sebagai ancaman jangka pendek untuk TLKM. Sebab, berbagi jaringan pada kenyataannya tidak begitu mudah diterapkan,” ungkap Aditya.
Bisnis data
Di luar interkoneksi, Aditya menilai, TLKM bisa menjadi pilihan karena mampu mempertahankan harga premium, bahkan di tengah perang harga. Mereka cukup mampu memonetisasi bisnis datanya.
“Balance sheet TLKM juga lebih sehat ketimbang pesaingnya. Dengan begitu, TLKM berada di posisi strategis untuk ekspansi,” tutur dia.
Analis Mega Capital Leo Teo juga berpendapat, dalam kondisi pasar dengan volatilitas tinggi seperti sekarang, saham defensif seperti TLKM layak untuk dikoleksi.
Dibanding EXCL dan ISAT, menurut Leo, keunggulan TLKM saat ini adalah forex exposure-nya cukup rendah atau hanya 4%. Isu forex cukup sensitif di bisnis telekomunikasi.
“Book balance TLKM juga masih jauh lebih solid dari EXCL dan ISAT. Dengan market discount seperti sekarang, TLKM layak dikoleksi,” ujar Leo.
Tapi, sebaiknya pasar saham dihindari dulu. “TLKM baik untuk investasi, bukan untuk trading. Masuk bertahap karena market masih berpotensi terkoreksi sampai akhir tahun,” kata Leo.
Aditya memproyeksikan, pada 2017 dan 2018 margin emiten telekomunikasi meningkat secara bertahap, dengan EBITDA margin 49,9% dan 50,6%.
Konsumsi data yang lebih tinggi bakal menggantikan tren penurunan pendapatan interkoneksi.
“Average revenue per user (ARPU) juga akan meningkat sebagai efek lanjutan dari usaha perusahaan telekomunikasi menormalkan tarif data mereka,” imbuhnya.
Untuk tarif data, Aditya menyebutkan, TLKM memimpin dengan harga Rp 6 per megabyte (MB), disusul ISAT dan EXCL masing-masing Rp 4 dan Rp 3 per MB.
Analis Sinarmas Sekuritas Evan Lie menilai, industri telekomunikasi di Indonesia masih punya prospek menguntungkan, dengan bisnis data yang akan terus memberikan pertumbuhan kuat pada tahun-tahun mendatang.
“Ini seiring dengan cepatnya penetrasi smartphone dan berkembangnya smartphone murah di pasar,” kata dia.
Reporter: Ghina Ghaliya Quddus