Ini Lima Manfaat Network Sharing bagi Indonesia
Skema ini akan menyebabkan efisiensi biaya untuk semua penyelenggara jasa telekomunikasi
Editor: Eko Sutriyanto
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Meski menjadi perdebatan, revisi PP No. 52 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi yang mengakomodasi sistem network sharing atau berbagi jaringan akan mendorong pemerataan penetrasi akses telekomunikasi dan internet.
Adek Media Roza, Head of Research Katadata Research mengatakan, skema network sharing yang tertuang dalam draft revisi ini akan menciptakan lima manfaat bagi pengembangan industri telekomunikasi di Indonesia.
"Skema ini akan menyebabkan efisiensi biaya untuk semua penyelenggara jasa telekomunikasi, adanya perluasan jangkauan dan akses internet ke masyarakat, peningkatan kualitas data dan suara, harga produk menjadi lebih bersaing dan peluang bisnis digital terbuka dan produktivitas ekonomi digital meningkat," kata Adek di Jakarta, Rabu (30/11/2016).
Belajar dari pengalaman sejumlah negara terlihat bahwa kebijakan network sharing banyak mendatangkan manfaat bagi konsumen.
Hal itu terjadi di Inggris, Perancis, Swedia, Tunisia, India dan Australia. Di beberapa negara tersebut, kebijakan network sharing berdampak pada perluasan jangkauan jaringan 3G, penurunan tarif internet, perbaikan layanan dan kualitas data, serta konsumsi data semakin meningkat.
Menanggapi rencana pemerintah merevisi PP No 52 & 53 tahun 2000, Ekonom senior Faisal Basri menilai sudah seharusnya pemerintah sebagai pemilik frekuensi harus berperan aktif mengawasi para pelaku industri dan tidak boleh didikte oleh korporasi.
Dalam sektor apa pun, prinsip yang harus dianut pemerintah adalah berpihak dan hadir bagi kepentingan publik.
Bahkan pemerintah perlu menyediakan insentif untuk membangun sektor yang terkait hajat hidup orang banyak.
“Negara jangan tunduk pada kekuatan korporasi, negara tidak boleh didikte untuk menguntungkan korporasi dibanding masyarakat,” ujar Faisal.
Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) bertekad mempercepat revisi Peraturan Pemerintah (PP) No 52 Tahun 2000 mengenai Penyelenggaraan Telekomunikasi.
Menkominfo Rudiantara menyatakan revisi Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi telah mewakili azas keadilan.
Soalnya, revisi aturan itu diterapkan dengan memperhitungkan investasi yang telah dilakukan operator.
“Artinya bagi operator yang sudah membangun infrastruktur, sama sekali tidak dirugikan. Ini untuk membangun sistem industri telekomunikasi nasional supaya Indonesia tidak ketinggalan,” kata Rudiantara kepada wartawan, kemarin.
Revisi regulasi itu, lanjut dia, merupakan upaya untuk mendorong peningkatan penetrasi internet di seluruh Indonesia.
“Network sharing itu harus, bukan barang baru dengan konsep b to b dan pasar menjadi wasit. Investasi operator harus dihitung untuk memperhitungkan harga yang diterapkan,” kata Rudiantara.
Revisi PP dan praktik network sharing merupakan upaya untuk memberikan manfaat lebih besar kepada masyarakat, sekaligus membangun industri secara keseluruhan.
Ia mengatakan, tanpa network sharing maka satu perusahaan bisa saja tumbuh besar, namun dampaknya justru akan mengerdilkan industri, sehingga Indonesia tertinggal.
Lebih lanjut, Rudiantara memastikan, operator yang sudah eksis di suatu wilayah tidak akan dirugikan oleh praktik berbagi jaringan tersebut.
Nilai investasi yang sudah ditanamkan oleh satu operator akan diperhitungkan dalam skema network sharing.
“Tentu ada klausul (di revisi) yang mengatur soal itu, dan itu sesuai dengan azas fairness,” ujarnya.
Ketua Umum Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) Merza Fachys menilai operator telekomunikasi terus melakukan investasi sesuai dengan kemampuan masing-masing.
Tudingan sejumlah pihak bahwa operator telekomunikasi malas membangun dan terkesan setengah hati menjalani bisnis ini sungguh keliru.
Merujuk pada data tiap operator, ada triliunan rupiah yang digelontorkan untuk basis teknologi operator agar terus berkembang.
"Operator terkecil itu investasinya Rp 5 triliun, kalo yang besar bisa Rp 20 triliun lebih. Jadi kalau ada yang bilang pemain males investasi, saya tidak tahu apa angka segitu itu angka yang kecil untuk investasi," tuturnya.
Menurut dia, aneh jika dalam industri ini para pemodal tak mengucurkan dana pengembangan bagi perusahaannya.
Sebab, jika tidak disokong investasi, maka bisnis itu jelas akan menjadi zombie, hidup segan mati tak mau. Adapun terkait berbagi jaringan atau network sharing, menurutnya, hal tersebut sangatlah lumrah.
Dia menambahkan tak ada pinjam meminjam frekuensi dalam skema ini, yang ada pengguna frekuensi membayar biaya sewa terhadap perusahaan yang punya izin frekuensi atau jaringan.
Merza lantas menganalogikan bagaimana turis dari luar negeri terkena roaming dan harus membayar sejumlah biaya ke operator telekomunikasi dalam negeri.
"Itu dia sewa frekuensi, dia tidak bawa jaringan dari negaranya," kata Merza.