Pengamat Properti: Waspada Banyak Pengembang Baru Abal-abal di Tahun 2017
Salah satu yang dibicarakan adalah bagaimana kondisi pengembang REI di daerah, birokrasi yang lambat dan proses perizinan panjang.
Editor: Malvyandie Haryadi
TRIBUNNEWS.COM - Kepempinan baru organisasi pengembang Realestat Indonesia (REI) di bawah Soelaeman Soemawinata memiliki tantangan yang berbeda dibanding kepemimpinan periode sebelumnya.
Pada era kepemimpinan Eddy Hussy periode 2013-2016, tantangan yang dihadapi REI adalah melemahnya industri properti sehingga harus banyak mendekati pemerintah.
Sementara akhir 2016 atau memasuki 2017, properti diyakini bakal mengalami kenaikan baik dari sisi volume maupun penjualan.
"Saran kami, jangan sampai pengembang baru bermunculan tidak profesional atau seperti di Yogyakarta yang melarikan uang konsumen. Ada pula di Tangerang, Depok, dan Bekasi," ujar pengamat properti Panangian Simanungkalit kepada Kompas.com, Rabu (20/12/2016).
Ia membandingkan, pada periode sebelumnya, REI lebih banyak melakukan lobi kepada pemerintah.
Salah satu yang dibicarakan adalah bagaimana kondisi pengembang REI di daerah, birokrasi yang lambat dan proses perizinan panjang.
Hal tersebut disuarakan kepada pemerintah untuk menolong bisnis properti yang terpuruk.
"Kalau (REI) sekarang tangtangan lebih sedikit, market sudah di bawah. Secara siklus akan naik dalam 3 tahun ke depan, malah akan booming," kata Panangian.
Tanggung jawab REI sebagai organisasi di depan publik, lanjut dia, adalah membangun kualitas pengembang dan menjaga profesionalitas. REI juga diharapkan dapat membangun etika bisnis yang lebih profesional.
"Ke depan, banyak bermunculan pengembang hanya karena mabuk bisnis properti tinggi keuntungannya," tutur Panangian.
Ia menambahkan, di satu sisi, pengembang baru cenderung tidak memiliki modal dan pengalaman yang cukup.
Pada akhirnya, ketika pengembang tersebut tidak menyelesaikan proyeknya, maka yang dirugikan adalah konsumen.
Panangian juga mengatakan, jika konsumen sudah merugi, tidak banyak lembaga yang dapat membantu.
Pasalnya, lembaga perlindungan yang sudah ada tidak memiliki posisi kuat seperti di Australia atau Singapura.
Karena tertekan tingginya permintaan dan sedikitnya pasokan, industri properti dapat mengalahkan lembaga tersebut.