Indef: Perlu Sinkronisasi Kebijakan Untuk Lindungi Industri Dalam Negeri
Pemerintah perlu sinkronisasi kebijakan antar kementerian untuk memperkuat dan mendorong industri di dalam negeri
Editor: Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerintah perlu sinkronisasi kebijakan antar kementerian untuk memperkuat dan mendorong industri di dalam negeri.
Sinkronisasi mutlak dilakukan agar industri mampu bertahan di tengah kian derasnya serbuan produk impor ke Indonesia.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Enny Sri Hartarti mengemukakan, pemerintah harus memberi dukungan nyata bagi industri dalam negeri.
Jangan sampai, berbagai kebijakan atau deregulasi yang dikeluarkan, justru malah membuat produk dari negara lain kian mudah masuk.
"Hasil analisa kami, banyak kebijakan yang bisa diidentifikasikan itu justru melemahkan industri dalam negeri. Kebijakan yang tidak sinkron lintas kementerian ini justru melemahkan industri dalam negeri, terutama berkaitan dengan kebijakan perdagangan dan importasi," ujar Enny, Kamis (19/1).
Misal, Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) 87/2015 tentang Ketentuan Impor Produk Tertentu dan Permendag 70/2015 tentang Angka Pengenal Importir, yang diproses kalangan industri, menjadi contoh tidak sinkronnya kebijakan. Di satu sisi ada keinginan memperkuat industri dalam negeri, di sisi lain justru membuka keran impor besar-besaran.
"Impor produk konsumsi itu sekarang ini tidak karu-karuan, besar sekali. Ini karena importir umum itu bebas mengimpor apa saja," ujar Enny.
Jika importasi produk-produk tertentu, seperti kosmetik, yang memiliki korelasi dengan isu kesehatan, tanpa melewati proses verifikasi, tanpa pengecekan, tentu saja dari sisi konsumen juga akan dirugikan. Karena kualitasnya tidak terkontrol. Karena itu, tidak bisa lagi kebijakan dibuat parsial.
"Ini paling dirugikan tentu produsen, industri dalam negeri. Di tengah pelemahan daya beli, masyarakat sudah tidak berpikir kualitas , yang penting mereka bisa mengakses barang produk sejenis, asal harga murah. Sementara itu, para importir juga tidak peduli, dengan biaya logistik lebih murah, mereka lebih suka impor, walaupun dari China," tegas Enny.
Menurut data BPOM, saat ini produk impor menguasai pasar kosmetik hampir 60 persen. Selama periode 2013-2014, kosmetik impor menunjukkan peningkatan dominasi pangsa pasar sedangkan kosmetik domestik mengalami penurunan.
Ketua Umum Perhimpunan Perusahaan dan Asoasiasi Kosmetika Indonesia (PPA Kosmetika) Putri K. Wardhani, pernah mengatakan, dominasi produk impor menguasai penjualan di peritel atau departemen store, mempersempit kesempatan produk lokal untuk bersaing.
Lemahnya daya saing produsen kosmetik nasional, juga lantaran masih didominasi oleh industri kecil menengah (IKM). Pendampingan industri masih tertinggal dibanding negara lain. Dua masalah itu, kian runyam, ditambah dengan adanya pelonggaran ketentuan impor kosmetik.
Jika dalam Permendag No 73 Tahun 2014, terdapat ketentuan Importir Terdaftar (IT); Angka Pengenal Importir (API); dan Verifikasi Teknis di Pelabuhan Muat, setelah ada deregulasi dengan hadirnya Permendag No 87 Tahun 2015, hanya ada satu ketentuan yakni cukup memiliki Angka Pengenal Importir Uum (API-U).
Alhasil, deregulasi yang semula ditujukan memperlancar arus barang justru berdampak pada peningkatan realisasi impor yang menyudutkan industri dalam negeri.
Bahkan, merujuk data BPS, ketika ketentuan verifikasi impor Kosmetik masih diberlakukan, terjadi penurunan impor sebesar 14 persen dari tahun 2013 hingga 2015. Namun, ketika ketentuan verifikasi dihilangkan pada Desember 2015, terjadi peningkatan sekitar 7 persen hanya dalam waktu satu tahun.
"Begitu dibebaskan untuk impor, maka sulit mendeteksi jenis, spesifikasi produk, karena tercampur . Itu memberikan peluang kebocoran, produk-produk yang mestinya dilakukan pengendalian, tercampur dengan produk lain," tegas Enny.(Yudho Winarto)