KPR Tanpa Uang Muka, Cicilan Semakin Besar
Skema pembiayaan KPR saat ini cukup beragam, mulai dari bunga kreditnya, uang mukanya, hingga tenornya.
Editor: Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Skema pembiayaan KPR saat ini cukup beragam, mulai dari bunga kreditnya, uang mukanya, hingga tenornya.
Saat ini bahkan ada wacana untuk meniadakan uang muka (down payment/DP) agar masyarakat kelas bawah bisa memiliki rumah.
Baca: Program Uang Muka Rumah Nol Persen Anies Diragukan
Direktur Jenderal Pembiayaan Perumahan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Maurin Sitorus menjelaskan, ada beberapa hal yang harus diperhatikan jika kredit tanpa uang muka ini diterapkan untuk pembiayaan rumah.
Pertama, mengenai komitmen kepemilikan (ownership). Maurin mengatakan jika tanpa DP, maka ownership debitur kredit rumah menjadi rendah. Hal itu juga terkait dengan aspek kedua yaitu besaran cicilan dan kemampuan membayar dari debitur itu sendiri.
"Kalau DP nol, cicilannya akan semakin besar," kata Maurin ditemui di sela Indonesia Property Expo 2017 di JCC Senayan, Jakarta, pada Sabtu (11/2/2017),
Hitung-hitungan mudahnya ia contohkan dengan kredit rumah Rp 100 juta. Apabila dengan DP 30 persen, artinya tinggal mengangsur Rp 70 juta. Maka bunga KPR lima persen dari Rp 70 juta sekitar Rp 3,5 juta.
Dengan asumsi tenor 15 tahun, maka debitur harus mencicil sebesar Rp 408.334 per bulan (Rp 73,5 juta dibagi 180 bulan).
Tetapi bila dengan skema kredit tanpa DP, maka beban bunganya saja sudah berbeda, yaitu 5 persen dikalikan Rp 100 juta atau sebesar Rp 5 juta. Sehingga dengan asumsi tenor yang sama 15 tahun, maka debitur harus mencicil sebesar Rp 583.334 per bulan (Rp 105 juta dibagi 180 bulan).
Cicilan untuk rumah yang lebih tinggi ini akan menjadi masalah. Sebab, kata Maurin saat ini ketentuan besaran cicilan yakni 35 persen dari pendapatan.
"Kenapa ditaruh 35 persen? Karena kita punya kebutuhan lain, biaya hidup, biaya sekolah anak," kata Maurin.
Maurin mengatakan, jika pendapatannya mepet sementara ada kebutuhan pendidikan dan cicilan rumah yang mahal, tentu saja masyarakat lebih mementingkan membayar sekolah. Sehingga, imbuhnya, apabila cicilan rumahnya di atas 35 persen dari pendapatan, maka kemungkinan besar KPR itu akan bermasalah atau dengan kata lain cicilan macet.
Jika KPR bermasalah, lanjut Maurin, maka perbankan akan bermasalah juga. Dan kalau perbankan bermasalah, maka perekonomian nasional akan bermasalah.
"Itu kelihatannya simpel, mikro. Tetapi, yang mikro itu bisa menjadi makro," ucap Maurin. Kemudian, ketika ditanya apakah mungkin diberikan tenor atau jangka waktu pinjaman lebih panjang, menjadi 30 tahun. Sehingga cicilannya menjadi lebih ringan?
Maurin menegaskan, nantinya hal itu tentu saja akan berpengaruh terhadap hitung-hitungan besaran cicilan. Namun, perlu diperhatikan juga kondisi atau daya tahan perbankan dalam hal pembiayaan dan risikonya.
"Kan perbankan dikontrol ketat, rasio kredit macet enggak boleh tiga persen, harus di bawah itu. Jadi, itu (program) harus ekstra hati-hati menetapkan," ujar Maurin.(Estu Suryowati)