Kurtubi: Melawan Freeport, Indonesia Punya Peluang Menang di Arbitrase
Menurutnya, royalti yang sangat rendah bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945.
Penulis: Srihandriatmo Malau
Editor: Choirul Arifin
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Srihandriatmo Malau
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Komisi VII DPR RI Kurtubi menilai posisi pemerintah Indonesia lebih kuat jika harus berhadapan dengan PT Freeport Indonesia (PTFI) di arbitrase internasional.
"Peluang Indonesia menang besar di arbitrase melawan PTFI," ujar politikus NasDem ini kepada Tribunnews.com, Jumat (24/2/2017).
Kurtubi menjelaskan, perjanjian Kontrak Karya (KK) yang ditandatangani Pemerintah dengan PTFI menempatkan Pemerintah dalam posisi setara denga PTFI.
Dengan begitu Pemerintah harus mentaati isi KK meski di kemudian hari isi kontrak merugikan negara.
Lebih lanjut kata Kurtubi, perubahan dalam isi KK harus persetujuan kedua belah pihak.
Misalnya, terkait tarif royalti emas sejak 1967 hanya 1%. Meski Presiden Gus Dur mengeluarkan Perpres yang menaikkan royalti emas menjadi 3.7%, PTFI tidak setuju dan tetap membayar royalti emas yang hanya 1%.
Baca: Kurtubi: Sebaiknya Hindari Arbitrase untuk Selesaikan Konflik Freeport
Kurtubi melihat, ada tendensi hal seperti ini yang dipegang terus oleh PTFI, sehingga meskipun kewajiban memurnikan konsentrat tembaga diamanatkan oleh UU Minerba No.4/2009, mereka merasa diri tidak terikat. Karena hal itu tidak ada dalam KK.
Padahal, ada ketentuan Hukum Kontrak International bahwa kontrak perdata antara 2 pihak tidak boleh bertentangan dengan hukum yang berlaku di negara para pihak yang berkontrak.
Menurutnya, royalti yang sangat rendah bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945.
Selain itu, tidak dibangunnya smelter bertentangan dengan UU Minerba yang mewajibkan adanya proses pemurnian hasil tambang di dalam negeri.
"Jadi, posisi Pemerintah Indonesia juga kuat karena adanya Resolusi Majelis Umum PBB yang menjamin kedaulatan setiap negara atas kekayaan alamnya," tegas Kurtubi.
PT Freeport Indonesia mengancam akan menggugat pemerintah Indonesia ke arbitrase internasional karena merasa haknya dilanggar.
Baca: Holding Perusahaan Tambang BUMN Ambisi Ambil Alih Saham Freeport
Pemerintah melalui Menko Kemaritiman, Luhut Binsar Pandjaitan dan Menteri ESDM Ignasius Jonan menyatakan siap menghadapi gugatan tersebut.
Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI), Hikmahanto Juwana mempertanyakan arbitrase yang mana yang akan diajukan PTFI? ICSID ataukah commercial arbitration yang diatur dalam Kontrak Karya (KK)?
Jika ke commercial arbitration, Hikmahanto menilai Pemerintah Indonesia juga punya hak sama untuk balik menggugat Freeport.
Apalagi Freeport telah melakukan wanprestasi terkait masalah pemurnian dan divestasi.
Bagaimana track record Indonesia bila diajukan ke arbitrase?
"Kalau ke ICSID kita menang di Century dan Churchill Mining," jelasnya membuka catatan sejarah yang pernah terjadi.
Baca: Luhut: Kita Berani Ambil Alih Freeport, Ada Inalum
Kalau ke Commercial arbitration pun tegas dia, Indonesia mempunyai catatan gemilang menang ketika melawan Newmont terkait kewajiban Newmont untuk melakukan divestasi.
Jadi menurut Hikmahanto, pemerintah tidak perlu gentar menghadapi ancaman Freeport untuk membawa persoalan yang kini menghangat ke arbitrase.
Hikmahanto juga amenegaskan tuduhan PT Freeport Indonesia bahwa pemerintah memaksa agar Freeport merubah Kontrak Karya (KK) adalah tidak benar.
Justru imbuh Hikmahanto, pemerintah hendak memberi jalan keluar buat pemegang KK termasuk Freeport.
Hal ini karena jelas dia, menurut Pasal 170 UU Minerba bahwa pegang KK dalam jangka waktu 5 tahun harus memurnikan dan mengolah dalam negeri.
"Inipun sudah diberi 3 tahun waktu 5 tahun telah jatuh tempo pada tahun 2014," tegas Hikmahanto kepada Tribunnews.com.
Baca: PBNU Dukung Jonan Negosiasi dengan Freeport
Namun lanjut Hikmahanto,Freeport tidak juga membangun smelter meski dana untuk itu telah tersedia.
Alasannya pembangunan smelter tanpa mendapat kepastian perpanjangan tidak menguntungkan.
Bila tetap mengikuti pasal 170, maka tegas dia, Freeport berhenti beroperasi.
Namun demikian pemerintah masih berbaik hati dengan memberi solusi yaitu boleh ekspor konsentrat tapi berubah menjadi IUPK. Kenapa IUPK?
Karena soal IUPK yang diatur dalam pasal 102 dan 103 tidak ada aturan berapa tahunnya.
"Untuk diketahui solusi yang diberikan pemerintah bukan tanpa resiko dihadapan rakyat. Ada kritikan terhadap kebijakan pemerintah ini, bahkan ada masyarakat yang mengajukan uji materi ke Mahkamah Agung," katanya.