Sejarawan: Sikap Keras Freeport Karena Ada Kepentingan Politik di Masa Lalu
Masuknya PTFI karena adanya unsur politik yang dapat memperkuat posisi Presiden Soeharto yang saat itu memimpin RI di kancah internasional.
Penulis: Apfia Tioconny Billy
Editor: Choirul Arifin
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Apfia Tioconny Billy
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - PT Freeport Indonesia (PTFI) keberatan mengubah status bisnis tambang mereka dari Kontrak Karya (KK), ke Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) dan memenuhi tuntutan divestasi 51 persen sahamnya kepada Pemerintah RI.
Menurut sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Suharsono, sikap keras PTFI tersebut muncul karena kesepakatan awal PTFI dengan Pemerintah Indonesia di masa lalu tidak murni untuk bisnis.
"Freeport awal masuk bukan bisnis murni tapi bisnis yang ada take and give-nya. Nah pergeseran-pergeseran zaman itu kemudian mendefinisikan kembali bisnis itu apa dan negara Indonesia itu apa. Dulu itu masih zaman rezim belum negara," ungkap Suharsono di acara Forum Grup Diskusi Seknas Jokowi di Hotel Morrissey, Jakarta Pusat, Senin (27/2/2017).
Suharsono menuturkan, masuknya PTFI karena adanya unsur politik yang dapat memperkuat posisi Presiden Soeharto yang saat itu memimpin RI di kancah internasional.
"Ada peristiwa-peristiwa yang membutuhkan dukungan kuat. Papua itu adalah bagian dari orde baru untuk menyogok satu kekuatan besar yang ada di PBB," ungkap Suharsono.
"Suharto bikin Freeport bukan untuk bisnis tapi untuk konteks politik untuk bergabung di PBB," lanjut Suharsono.
Dengan peraturan yang dibuat pemerintah dan kesiapan pemerintah untuk menghadapi keinginan PTFI membawa persoalan tersebut ke pengadilan internasional arbritase, sejarawan Lipi itu
"Saya pikir kita harus mengawal, mengambil bagian (dukungan) agar menjadi republik ini sebenarnya, hal darurat itu harus diakhiri," kata Suharsono.