Pentingnya Sinkronisasi Biaya Penggunaan Tanah di Atas HPL Kawasan Industri
Banyak yang menyalahartikan penggunaan HGB di kawasan industri sebagai hak milik
Editor: Eko Sutriyanto
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Penentuan besaran biaya penggunaan tanah di atas hak pengelola lahan (HPL) di kawasan industi lebih memiliki kepastian hukum.
Untuk itu diperlukan keseragaman pemahaman antara Kawasan Industri BUMN/BUMD selaku pemegang HPL, dengan pengguna tanah/perusahaan industri/pihak lain.
Direktur Utama PT Jakarta Industrial Estate Pulogadung (JIEP), Rahmadi Nugroho, selama ini, kawasan Industri yang dikelola BUMN/BUMD memang mendapat kewenangan sebagai pemegang HPL yang dapat merekomendasikan HGB (hak guna bangunan) untuk penggunaan tanah kepada pengguna tanah/perusahaan Industri/pihak lain.
“Dan masih banyak yang menyalaharti perihal penggunaan HGB di kawasan industri sebagai hak milik,” ucapnya di sela-sela FGD (Focus Group Discusssion) dengan tema ”Biaya Penggunaan Tanah di Atas Hak Pengelolaan Lahan (HPL) Kawasan Industri” di Jakarta, Senin (27/2/2017)
Menurut Rahmadi, sejauh ini tidak adanya sinkronisasi dan harmonisasi kebijakan untuk menentukan besaran biaya penggunaan tanah diatas HPL kawasan industri.
“JIEP menyelenggarakan FGD ini bertujuan untuk memperjelas kepastian hukum tersebut,” ucapnya.
Sejauh ini sengketa yang muncul kebanyakan terjadi lantaran ketidakcocokan harga antara pemegang HPL dengan pengguna tanah. Beberapa di antaranya bahkan berkasus di pengadilan.
Guru Besar Hukum UI Hikmahanto Juwana mengungkapkan, banyak permasalahan yang timbul diakibatkan tidak tercapainya kesepakatan dalam besaran biaya penggunaan tanah di atas HPL kawasan industri.
Menurut dia, permasalahan yang muncul dapat membawa kepada tindak koruptif. Pasalnya HPL ini merupakan aset tanah milik negara yang dikuasakan pengelolaannya kepada badan-badan pemerintah yang ditunjuk.
“Masyarakat atau investor juga harus hati-hati bahwa tidak seluruh HPL dalam kondisiclean and clear atau jelas, dan bersih dari sengketa. Terlebih HPL-HPL yang diterbitkan zaman Presiden Soeharto ini masih belum jelas dan bersih perolehannya,”ujarnya.
Supardy Marbun, Direktur Sengketa Dan Konflik Tanah dan Ruang Wilayah I, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/ Badan Pertanahan Nasional, mengakui, UU Pokok-Pokok Agraria tidak secara tegas mengatur dan memuat definisi HPL.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.