Empat Faktor Ini Jadi Penghambat Penetrasi Layanan Keuangan Digital
Regulator dan penyedia layanan keuangan digital harus memastikan kemananan saluran layanan keuangan
Editor: Eko Sutriyanto
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Implementasi layanan keuangan digital sebagai salah satu ujung tombak inklusi keuangan di Indonesia perlu memperhatikan berbagai risiko yang saat ini dihadapi pelanggan.
Riset MicroSave Indonesia belum lama ini, ada empat risiko utama yang dapat menjadi penghambat penetrasi layanan keuangan digital, yakni kesadaran yang rendah terkait provider, produk, dan biaya layanan.
Kemudian kurangnya dukungan terhadap pelanggan, mekanisme penyampaian keluhan yang kurang memadai dan masih rendahnya kredibilitas dan kepercayaan terhadap provider dan layanan yang disediakan.
Riset tersebut melibatkan 1.414 pelanggan yang tersebar di 15 provinsi di Indonesia. Pelanggan yang diteliti merupakan perpaduan dari 886 pelanggan Laku Pandai dan 528 pelanggan Layanan Keuangan Digital (LKD) dari sembilan provider utama di Indonesia.
Dari 1.414 pelanggan tersebut, sekitar 1.011 merupakan pelanggan yang masih aktif menggunakan Laku Pandai dan LKD, sedangkan 403 merupakan pelanggan tidak aktif.
Country Manager MicroSave Indonesia Grace Retnowati mengungkapkan, pertumbuhan layanan keuangan digital di Indonesia cukup pesat mengingat saat ini tercatat ada sekitar 290 ribu agen dan 3,2 juta akun/rekening yang terdaftar di seluruh Indonesia.
Kendati demikian, apabila tidak dikelola dengan baik, berbagai risiko akan muncul dan merugikan masyakarat karena hanya 22% masyarakat yang melek terhadap layanan keuangan dan 8% di antaranya yang tahu akan layanan keuangan digital.
Dari 1.414 responden ditemukan bahwa pengetahuan masyarakat tentang layanan keuangan digital melalui Laku Pandai maupun LKD tergolong masih rendah (BRI sebesar 40% untuk Laku Pandai dan Mandiri sebesar 21% untuk LKD).
Hal itu pun juga dikarenakan mereka memiliki brand yang cukup kuat di masyarakat.
Dampak lanjut dari kesadaran yang rendah adalah pemahaman yang rendah (kurang dari 30%) terhadap produk dan biaya transaksi yang berakibat pembayaran berlebih (overcharging) dari pelanggan terhadap agen.
Sebanyak 91 persen dari pelanggan yang tidak dapat melakukan transaksi sendiri, memberikan semua informasi terkait dengan transaksi kepada agen termasuk informasi terkait biaya transaksi mayoritas diperoleh dari agen sehingga pelanggan makin rentan dieksploitasi oleh agen.
Salah satu alasan mengapa pelanggan menjadi tidak aktif adalah karena kurang memadainya kualitas pelayanan yang diterima dari agen (42%), waktu aktivasi yang lama sekitar 1.05 hari, atau 1.25 hari untuk mengaktifkan Laku Pandai dan 0,7 hari untuk LKD, hingga alasan yang paling sering dikemukakan adalah relevansi produk terhadap kebutuhan pelanggan.
Terkait dengan penanganan keluhan pelanggan, hanya sekitar 7 persen responden yang menyatakan bahwa mereka memiliki pertanyaan atau keluhan terkait layanan keuangan digital yang mereka terima.
Keluhan tersebut terkait kegagalan transaksi, produk, dan biaya. Pertanyaan dan keluhan tersebut mayoritas disampaikan kepada agen (81.75%) dan diharapkan agen dapat menjadi sumber penyelesaian keluhan sehingga menempatkan pelanggan pada posisi yang rentan untuk dieksploitasi oleh agen.
Mereka yang datang ke agen untuk menyelesaikan keluhan tersebut mengaku dikenakan biaya. Pilihan tersebut diambil karena biaya call center dinilai masih relatif mahal dengan biaya rata-rata Rp3.667 per komplain.
Responden juga mengakui, faktor terbesar menurunnya kepercayaan dan kredibilitas terhadap pelayanan transaksi keuangan digital disebabkan oleh keterlambatan transaksi (11.30%).
Faktor lain adalah kegagalan sistem (7%), masalah jaringan (4.70%), dan penolakan oleh agen (2%) terhadap permintaan transaksi.
Sementara itu, responden juga meminta agar provider aktif melakukan sosialisasi dan peringatan terkait keamanan dan perlindungan pelanggan atas penggunaan layanan keuangan digital.
Hasil temuan penting yang lain adalah bahwa 90 persen pelanggan layanan keuangan digital saat ini sudah merupakan nasabah bank, khususnya pada bank komersial.
Hal ini mengindikasikan, perlunya menargetkan pelanggan yang belum terlayani oleh layanan perbankan formal.
Hal ini dapat dilakukan salah satunya dengan menawarkan produk layanan keuangan digital yang sesuai dengan kebutuhan pelanggan.
Sekedar memberikan gambaran, akun Laku Pandai sebagian besar digunakan untuk penarikan uang tunai atau deposito (28%), sedangkan LKD digunakan untuk pembayaran (21%) di toko-toko, restoran, pedagang eceran, dll.
Menurut Grace, untuk mengejar target inklusi keuangan sebesar 75 persen, regulator dan penyedia layanan keuangan digital harus memastikan kemananan saluran layanan keuangan digital dan meningkatkan perlindungan pelanggan.
Pasalnya, pelanggan tetap rentan terhadap berbagai risiko apabila tidak ada inisiatif perlindungan pelanggan dan manajemen risiko yang kuat.
Untuk meningkatkan pemahaman dan kesadaran terkait layanan keuangan digital, diharapkan OJK dan Bank Indonesia memiliki program literasi keuangan yang spesifik berbicara tentang layanan keuangan digital.
Regulator bisa bekerja sama dengan pelaku industri untuk melakukan beragam program inovatif berdasarkan wawasan perilaku (human behavior), dengan menggunakan permainan/alat interaktif.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.