Pengetatan Impor Ban Bikin Pengusaha Bus dan Truk Kerepotan
“Harga ban yang dibutuhkan sudah naik antara 7%-12% sejak bulan lalu,” kata Kurnia Lesani Adnan.
Editor: Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sejumlah pengusaha di industri strategis seperti transportasi, pertambangan, perkebunan, hingga pelabuhan mengeluhkan pengetatan impor ban yang telah menciptakan kelangkaan ban dan membuat bisnis mereka semakin tidak efisien. Kini, sudah banyak pelaku usaha melakukan kanibalisasi untuk tetap beroperasi.
“Harga ban yang dibutuhkan sudah naik antara 7%-12% sejak bulan lalu,” kata Kurnia Lesani Adnan, Ketua Umum Ikatan Pengusaha Otobus Indonesia (IPOMI), Rabu (17/5/2017).
Kurnia menjelaskan kenaikan harga ban turut meningkatkan biaya operasional. Anggota IPOMI setidaknya membutuhkan 100.000 unit ban per tahun. Padahal, berbagai persoalan ekonomi seperti ketatnya persaingan dengan transportasi udara saat ini telah membuat faktor muatan (load factor) mereka turun hingga 60%.
Menteri Perdagangan menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 77/M-DAG/PER/11/2016 Tentang Ketentuan Impor Ban yang terbit tanggal 11 November 2016 dan mulai berlaku pada 1 Januari 2017.
Aturan ini mewajibkan importir ban memenuhi sejumlah persyaratan. Pertama, memiliki rekomendasi dari Direktorat Jenderal Industri Kimia, Tekstil dan Aneka Kementerian Perindustrian.
Kedua, memiliki surat penunjukan dari prinsipal pemegang merek atau pabrik di luar negeri yang disahkan notaris publik dan atase perdagangan negara setempat.
Ketiga, impor hanya dapat dilakukan oleh perusahaan pemilik Angka Pengenal Importir Produsen (API-P) atau perusahaan pemilik Angka Pengenal Importir Umum (API-U) yang telah mendapatkan persetujuan impor dari menteri.
Keempat, impor ban hanya bisa dilakukan jika ban impor dipergunakan sebagai penunjang atau melengkapi proses produksi. Setiap pelaksanaan impor ban, harus didahului dengan verifikasi atau penelusuran teknis di pelabuhan muat.
Ironisnya, pemerintah memiliki Permendag Nomor 118/M-DAG/PER/12/2015 tentang Ketentuan Impor Barang Komplementer, Barang Untuk Keperluan Tes Pasar, dan Pelayanan Purna Jual yang memihak kepada pemilik API-P.
Kurnia menjelaskan berbagai aturan ini menyulitkan di tengah industri ban dalam negeri yang belum mendukung.
“Sekarang produksi ban Truck Bus Radial (TBR) belum mencukupi kebutuhan. Sementara ban Bias buatan dalam negeri memiliki persoalan yang dapat berpengaruh pada keamanan, kenyamanan, dan efisiensi,” jelasnya.
Setidaknya ada tiga hal yang membedakan TBR dengan Bias. Pertama, biaya per kilometer (cost per kilometer) TBR lebih efisien antara 40%-50% dibandingkan Bias.
Kedua, pemeliharaan TBR lebih mudah dibandingkan Bias. Ketiga, lingkaran ring TBR mencapai 22,5 inchi, sedangkan Bias hanya 20,1 inchi.
Dengan demikian, TBR memiliki jarak lebih luas dari tromol bus/truk yang memiliki ring antara 18,9-19 inchi.