Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Bisnis

Mei ke Juni 2017, Utang Pemerintah Pusat Melonjak Rp 34,19 Triliun

Utang pemerintah pusat tersebut terdiri dari 80,4% berupa Surat Utang Negara alias Surat Berharga Negara (SBN).

Editor: Choirul Arifin
zoom-in Mei ke Juni 2017, Utang Pemerintah Pusat Melonjak Rp 34,19 Triliun
ISTIMEWA
Bhima Yudhistira Adhinegara 

Tersedot utang

Kepala Ekonom SKHA Institute for Global Competitiveness Eric Sugandi menilai, rasio utang pemerintah terhadap PDB hingga akhir tahun masih bisa ditekan.

Caranya, pertama, melalui pembayaran utang untuk mengurangi outstanding utang. Kedua, menaikkan nominal PDB. Ketiga, pembayaran utang dan menaikkan nominal PDB.

"Rasio masih bisa dikatakan aman. Tetapi bukan berarti ke depan akan selalu aman karena yang diukur kemampuan membayar utang dengan kemampuan produksi nasional. Kalau (ekonomi) kita sakit, belum tentu aman," kata Eric kepada KONTAN, Senin (24/7/2017).

Menurut Eric, hal yang harus di waspadai terkait utang pemerintah adalah porsi utang, sebab saat ini kepemilikan asing yang hampir mencapai 40% dari total SBN. Dengan kepemilikan asing yang tinggi, maka ada risiko mereka keluar dari pasar keuangan dalam negeri.

"Itu akan menimbulkan tekanan," katanya.

Oleh karena itu Eric menyarankan, pemerintah tetap mempertimbangkan keseimbangan utang. Apalagi mendekati pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 2019 mendatang. Saat ini biasanya pemerintah cenderung melakukan akselerasi pengeluaran sehingga pada akhirnya membebani defisit anggaran. Pemerintah juga harus bisa memastikan penarikan utang untuk kegiatan produktif.

Berita Rekomendasi

"Sebab, selama tiga tahun terakhir harga komoditas tertekan. Bukan berarti ekonomi jelek, hanya saja ekonomi melambat. Ya artinya pemerintah boleh utang tapi tetap dijaga," kata Eric.

Ekonom Institute for Developtmen Economic and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira Adhinegara melihat adanya dua risiko jika pemerintah terlalu bernafsu menambah utang.

Pertama, beban utang jatuh tempo pada 2018-2019 sudah sangat besar yaitu mencapai Rp 810 triliun. Jumlah itu belum menghitung bunga utang dari penerbitan SBN tahun ini. "Jadi APBN-nya terancam terkuras untuk cicilan utang," kata Bhima.

Kedua, ada kekhawatiran crowding out. Walhasil, likuiditas jasa keuangan tersedot untuk pembelian obligasi pemerintah. Imbasnya adalah, bisa memicu perang suku bunga kredit perbankan.

Karena itu, Bhima menyarankan, agar pembangunan infrastruktur ke depan tak lagi banyak berasal dari utang. Sebagai penggantinya, kebijakan pembangunan infrastruktur dengan skema kerjasama pemerintah dan badan usaha harus dipercepat agar tak membebani APBN.

Reporter: Adinda Ade Mustami 

Sumber: Kontan
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas