Berharap dari PINA dengan Instrumen RDPT untuk Menggebrak Pembiayaan Infrastruktur
Bahana akan berperan mulai dari tahap due deligence proyek, negoisasi antara investor dan investee, untuk menetapkan valuasi saham
Penulis: Hendra Gunawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Laju pertumbuhan ekonomi Indonesia hingga semester pertama tahun ini berada di level 5,01%, perbaikan kinerja ekspor dan investasi menjadi penopang utama perekonomian ditengah melambatnya konsumsi rumah tangga dan belum optimalnya belanja pemerintah khususnya untuk pembangunan infrastruktur
Pemerintah sangat menyadari bahwa pembangunan infrastruktur akan memberi multiplayer effect yang besar bagi pertumbuhan ekonomi, makanya Presiden Joko Widodo sangat konsen berupaya menggenjot sejumlah proyek infrastruktur termasuk salah satunya dengan meluncurkan Pembiayaan Investasi Non Anggaran Pemerintah atau PINA.
Sesuai dengan namanya, pembiayaan non anggaran pemerintah, maka pembangunan infrastruktur yang menggunakan program PINA harus mencari pendanaan jangka panjang misalnya melalui penawaran umum saham perdana atau lebih dikenal dengan initial public offering (IPO) atau bisa juga melalui Reksa Dana Penyertaan Terbatas (RDPT) atau menerbitkan instrumen jangka panjang lainnya.
''Kehadiran PINA diharapkan bisa menjadi katalis bagi pembangunan infrastruktur kedepan,'' ujar Direktur Utama Bahana Sekuritas Feb Sumandar. ''Kami berharap investor yang memiliki dana besar dan jangka panjang tertarik berinvestasi karena dengan program ini, imbal hasil yang ditawarkan juga tak kalah menarik, apalagi kalau ada peraturan pemerintah yang mendukungnya, bukan hal yang mustahil, ini akan menjadi turning point bagi pembangunan infrastruktur di Indonesia,'' jelasnya.
Demi memuluskan program ini, pemerintah telah menunjuk PT Bahana Sekuritas untuk membantu perusahaan atau institusi lainnya yang memiliki dana kelolaan besar agar dapat mengalokasikan dana-dana masyarakat yang dihimpun tersebut bagi pembiayaan pembangunan proyek infrastruktur yang dianggap layak untuk dibiayai. Bahana akan berperan mulai dari tahap due deligence proyek, negoisasi antara investor dan investee, untuk menetapkan valuasi saham hingga ke tahap akhir.
Jadi sekuritas milik negara ini akan menjadi financial advisory atau penasehat keuangan bagi investor yang tertarik berinvestasi untuk pembangunan infrastruktur. Bahkan Bahana siap untuk memberikan masukan untuk skema pembiayaan yang paling feasible untuk sebuah proyek, misalnya melalui IPO atau menerbitkan surat hutang yang lebih spesifik untuk membiayai proyek yang sifatnya jangka panjang sehingga profil risiko bisa diminimalisasi, bisa juga dengan menerbitkan medium term note (MTN) .
Saat skema PINA ini ditandatangani di istana negara yang disaksikan oleh Presiden Jokowi, investor yang berpartisipasi untuk berinvestasi diantaranya PT SMI dan Taspen yang berinvestasi langsung dalam kepemilikan saham pada Waskita Toll road untuk membiayai pembangunan jalan tol di Jawa dan Sumatera.
Pembangunan jalan tol yang sudah dimulai sejak 2015, lalu direncanakan selesai pada 2020. Beberapa investor yang memiliki dana kelolaan besar lainnya juga berminat namun masih terkendala beberapa peraturan pemerintah. Disinilah diperlukan deregulasi dan kebijakan yang suportif untuk bisa menstimulasi masuknya investor besar lainnya.
Bagi Bahana Sekuritas menjalankan PINA dengan menggunakan instrumen RDPT bukanlah hal yang baru, karena pada 2008, Bahana pernah membangun pelabuhan Eastkal Supply Base di Penajam, Kalimantan Timur dengan menggunakan RDPT Bahana Private Equity Pelabuhan (BPEP) sebagai underlying asset. Ini adalah RDPT pertama yang ada di Indonesia, dan yang pertama juga berinvestasi pada proyek greenfield, bukan pada proyek yang sudah berjalan.
Melalui skema ini, investor menginvestasikan uangnya di proyek pembangunan pelabuhan yang saat itu sangat dibutuhkan oleh perusahaan-perusahaan tambang khususnya minyak dan gas yang ada di wilayah tersebut, mengingat tingginya kebutuhan supply base berbasis pelabuhan sebagai sarana penunjang di bidang migas, khususnya sektor Hulu. Sementara itu, jumlah supply base di Kalimantan pada saat itu masih minim dan terbatas. Apalagi pada saat itu, komoditas menjadi incaran para investor sehingga harganya sangat mahal.
Proyek Eastkal supply base dimulai pada September 2008, terbagi atas dua fase. Fase pertama untuk jasa logistik di sektor migas fase dua dikembangkan sebagai supply chain-link terintegrasi bagi perusahaan-perusahaan sektor riil. Pelabuhan tersebut dikelola oleh PT Pelabuhan Penajam Banua Tanaka (BPPT), investee company dari RDPT BPEP.
Pada bulan Januari 2013 hasil RUPS sepakat untuk menjual semua saham kepada strategic investor, yang telah menyatakan berminat kepada proyek ini.