Kompetisi Sengit, Industri Teknologi Informasi dan Komunikasi Terpaksa Rampingkan Karyawan
Merger dilakukan untuk menyelamatkan perusahaan agar tetap berproduksi, sementara PHK mengurangi pekerja atau beban perusahaan di sisi biaya produksi
Penulis: Eko Sutriyanto
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Sejumlah pengamat ketenagakerjaan menilai perubahan core bisnis industri teknologi informasi dan komunikasi (TIK) yang terjadi dewasa ini menuntut perusahaan mengurangi tenaga kerja sebagai bentuk efisiensi.
Hal itu dimungkinkan sebagai salah satu opsi terakhir untuk mencapai keseimbangan produktifitas dan kinerja.
"Merger mungkin dapat membantu menaikkan nilai tambah. Tapi kalau biaya operasi masih tinggi dan mengurangi nilai tambah, ya pilihan terakhir PHK (pemutusan hubungan kerja). Walaupun belum tentu meningkatkan kinerja perusahaan," kata pengamat ketenagakerjaan dari Universitas Gadjah Mada, Tadjudin Nur Effendi, kepada wartawan, Minggu (20/8/2017).
Pernyataan Tadjudin itu menanggapi arah bisnis industri ICT yang cenderung konsolidasi sebagaimana diungkapkan Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Rudiantara.
Menkominfo pernah mengimbau agar operator telekomunikasi berkonsolidasi sebab kerugian terus diderita oleh operator telko, khususnya yang baru bergabung di sektor tersebut.
Nah, konsolidasi ini salah satu solusi guna memangkas kerugian mereka.
Baca: Efisiensi dan Konsolidasi di Industri Teknologi Informasi Komunikasi Tidak Terhindarkan
Tadjudin menilai upaya konsolidasi terutama merger dilakukan untuk menyelamatkan perusahaan agar tetap berproduksi, sementara PHK mengurangi pekerja atau beban perusahaan di sisi biaya produksi.
"Mana yang lebih efisien, tentu itu tergantung pada situasi dan pilihan manajemen perusahaan," katanya.
Ditanya soal PHK yang dilakukan perusahaan besar seperti Microsoft, dia menyebut kemungkinan raksasa IT itu terlalu terbebani membayar pekerja sehingga lebih baik melakukan pemutusan hubungan kerja.
Di sisi lain, perubahan core bisnis perusahaan TI saat ini menuntut perusahaan merampingkan karyawan agar mudah bergerak dan melakukan inovasi menghadapi kompetisi yang makin sengit.
Terkait merger operator, dia menilai, Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo) pasti telah melakukan pengamatan terhadap kondisi operator telko di Indonesia.
Baca: Penjelasan Ria Irawan Soal Endorsment First Travel: Bantu Julia Perez
Hal itu dilakukan karena perusahaan yang menekuni bisnis ini sudah sedemikian menjamur di Tanah Air.
"Mungkin Kominfo menilai operator telko sudah melampaui jumlah yang diinginkan atau telah melampaui titik nilai tambah yang diharapkan," katanya.
Meski demikian, imbauan untuk merger dan korelasinya terhadap PHK tentu tak bisa dipukul rata. Tiap perusahaan memiliki kebijakan sendiri terkait efisiensi.
"Ya tentu itu kembali pada manajemen perusahaan. Kalau manajemen baik, ya tentu perusahaan bisa baik," pungkasnya.
Baca: Dukung UMKM dan Startup, Telkomsigma Tawarkan Free Hosting Merah Putih
Secara terpisah, pengamat Ketenagakerjaan dari Universitas Airlangga, Hadi Subhan, melihat pengurangan tenaga kerja tak bisa dihindari terutama dikaitkan dengan kapasitas perusahaan.
"Ibaratnya, kapal yang tadinya 2, sekarang tinggal 1. Harus ada sebagian yang diturunkan. Daripada kelebihan kapasitas lalu tenggelam semua," katanya.
Hadi menjabarkan saat terjadi konsolidasi berupa merger atau akuisisi, aturan ketenagakerjaan terkait PHK mesti dipahami secara berbeda dengan kondisi normal.
Sebab, biasanya ada 2 situasi yang akan dihadapi.
Baca: Polri: Kondisi Timika Mulai Kondusif
Pertama, para karyawan tidak mau ikut bekerja di bawah naungan pimpinan baru.
Dalam situasi ini, PHK bisa saja dilakukan dengan pesangon maksimal 9 bulan upah, di luar uang penghargaan kerja dan tunjangan lain.
"Kan merger ini sama dengan efisiensi, sehingga harus ada pesangon yang sesuai. Maksimal 9 bulan dikalikan 2, ditambah tunjangan lain," ujar Hadi.
Kedua, jika perusahaan yang menghendaki PHK, aturan menjadi berbeda. Prinsipnya, menurut dia, perusahaan bisa melakukan pemutusan hubungan kerja, namun tetap memberi jalan keluar terbaik bagi pekerja. Seperti diketahui, di dunia internasional perkembangan teknologi erat kaitannya dengan efisiensi dan PHK.
Microsoft contohnya, perusahaan raksasa itu melakukan pemutusan hubungan kerja dengan 4% karyawan atau sekira 4 ribu orang.
Baca: Tak Boleh Berlarut-larut, Kasus PHK MNC Grup Harus Segera Diselesaikan
Indonesia juga mengakomodasi hal tersebut, tapi tetap dengan memperhitungkan kelayakan bagi karyawan yang akan dirumahkan.
"Sangat boleh dilakukan (PHK), Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 mengatur itu," kata Hadi.
Ketua Umum Asosiasi Telekomunikasi Seluler Indonesia (ATSI) Merza Fachys juga memiliki penilaian yang serupa.
Merza menilai efisiensi di industri teknologi informasi dan telekomunikasi tidak bisa dihindari.
Pasalnya, efisiensi merupakan suatu tuntutan yang terjadi dalam proses bisnis yang terus berulang.
“Efisiensi di bisnis telko merupakan proses bisnis yang berulang dan suatu tuntutan yang tak bisa dihindari,” ujar Merza.
Baca: Manajemen Sevel Bakal Penuhi Hak Seluruh Karyawan yang di-PHK
Pernyataan Merza tersebut mengomentari tren di industri teknologi informasi global yang cenderung mengurangi jumlah pekerja digantikan teknologi yang makin canggih serta pergeseran preferensi konsumen yang kian dinamis.
"Ibaratnya kalau nafasnya berat, sudah saatnya cari tempelan dengan nafas yang masih panjang. Kalau tidak, ya diambil alih oleh mereka yang nafasnya masing panjang," katanya.
Terkait isu tentang adanya efisiensi yang mengarah pada pemutusan hubungan kerja (PHK) di industri teknologi informasi dan telekomunikasi, Merza menyerahkan keputusan tersebut pada perusahaan.
"Kalau itu (keputusan) masing-masing perusahaan,” paparnya.