Ichsanuddin Noorsy:Yang Langka pada Freeport Indonesia
Ekonom Ichsanuddin Noorsy menyarankan, sebelum mengizinkan ekspor konsentrat tanpa pengolahan, ubah dulu UU 4/2009
Editor: Rachmat Hidayat
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA-Ekonom Ichsanuddin Noorsy menyarankan, sebelum mengizinkan ekspor konsentrat tanpa pengolahan, ubah dulu UU 4/2009. Istilah rileksasi perijinan denga IPK untuk Freeport Indonesia, menunjukkan Pemerintah tidak nyaman memberlakukan UU 4/2009.
"Ini akan memberi dampak perusahaan pertambangan lain ikut meminta fasilitas yang sama. Sementara perpanjangan ijin untuk 2021-2041 malah mngindikasikan betapa hebatnya peran pemerintah dan petinggi Amerika Serikat (AS) dalam mendukung Freeport Indonesia," ungkapnya, Selasa (29/8/2017).
Dalam konstruksi divestasi, menurutnya, muncul masalah. Yang pertama, siapa yang menilai harga perusahaan Freeport Indonesia, dan dengan metode seperti apa di tengah situasi ekokomi global macet dan tidak pasti.
Kemudian, pemerintah dan BUMN tidak memiliki dana. Padahal, sambung Noorsy, hanya tinggal 4 tahun lagi berdasarkan Kontrak Karya.
"Selain itu, divestasi dengan tujuan nasionalisasi akhirnya berpluang diambil swasta nasional. Yakni, kelompok Djarum, Sampoerna, Gudan Garam, Indofood, Sinar Mas atau Lippo. Maka yang terjadi, makin timpangnya penguasaan sumberdaya," Noorsy mengingatkan.
"Yang kaya makin kaya. Divestasi ini membutuhkan perhitungan secara jujur dan terbuka untuk bisa dipertanggung jawabkan (accountability, fairness dan responsibility). Ini yang langka pada Freeport Indonesia," katanya lagi.
"Tunggu saja hingga jatuh tempo dan saat perpanjangan izin 2021-2041, pemerintah mensyaratkan kepemilikan saham 51 persen kepada Freeport Indonesia," lanjut Noorsy lagi.