Daya Beli Diklaim Tak Turun, Tapi Mengapa Ekonomi Melambat? Penjelasan Gamblang Faisal Basri
"Sangat boleh jadi penjualan beberapa produk turun dan daya beli kelompok pendapatan tertentu juga turun."
Editor: Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ekonom kondang Faisal Basri merilis riset terkini mengenai kondisi makroekonomi Indonesia. Riset yang dirilis Selasa (3/10/217) ini bertajuk 'Peta Perekonomian Indonesia Memasuki Era Digital'.
Riset Faisal menunjukkan, secara umum kondisi makroekonomi Indonesia stabil dengan beberapa catatan. Misalnya saja, tingkat inflasi di bawah 4%, terendah sejak krisis 1998.
Selain itu, suku bunga berangsur turun, walaupun belum serendah yang diinginkan pemerintah. Nilai tukar rupiah stabil dengan volatilitas terendah di Asia Tenggara bersama dengan ringgit Malaysia.
Di sisi lain, cadangan devisa melonjak hingga mencapai level tertinggi sepanjang sejarah.
Indikator makro lain yang juga menunjukkan tren positif.
Antara lain, pasar saham sudah 19 kali mencetak rekor baru sejak pertengahan Maret 2017, arus masuk penanaman modal asing langsung (FDI) dan portofolio meningkat, kondisi umum perbankan relatif sehat, nilai ekspor tumbuh dua digit setelah turun selama lima tahun beruntun, serta surplus neraca perdagangan yang menunjukkan peningkatan.
Dalam bagian kedua riset, Faisal lalu mempertanyakan: saat data-data makroekonomi stabil, namun mengapa pertumbuhan melambat?
Seperti yang diketahui, pertumbuhan ekonomi Indonesia melambat.
Hal ini terlihat dari pertumbuhan rerata yang sebelumnya double digit menjadi rerata 8%, lalu 7%, 6%, dan akhirnya dalam empat tahun terakhir menjadi 5%.
Hasil riset Faisal juga menunjukkan, permintaan domestik Indonesia mengalami tekanan. Untuk sektor perdagangan, misalnya, masih mengalami pertumbuhan kendati melambat.
Misalnya, perdagangan wholesale dan ritel pada Semester I 2017 tumbuh 4,66%. Namun, pertumbuhan dari subsektor ini turun dari 5,41% pada semester I 2017 menjadi 3,94% pada kuartal II 2017.
Satu hal yang digarisbawahi Faisal dalam risetnya adalah tidak terjadi penurunan daya beli dalam masyarakat. Berikut adalah sejumlah poin mengenai hal tersebut.
Pertama, Tidak ada kejadian luar biasa yang menyebabkan daya beli masyarakat secara nasional mengalami penurunan.
Kedua, penurunan omzet atau laba beberapa outlet pasar modern dan pusat perbelanjaan tidak bisa dijadikan acuan terjadinya penurunan daya beli masyarakat.
Ketiga, begitu banyak ragam barang dan jasa serta berbagai kelompok pendapatan
"Sangat boleh jadi penjualan beberapa produk turun dan daya beli kelompok pendapatan tertentu juga turun. Tetapi, secara keseluruhan naik, yang tercermin dari peningkatan riil konsumsi masyarakat sekitar 5%. Sementara secara nominal naik sekitar 8%," papar Faisal.
Keempat, ada indikasi penurunan konsumsi (bukan daya beli) kelompok menengah-atas untuk berjaga-jaga dengan menaikkan nilai tabungan (switching to saving).
Baca: Ekonom Bank Mandiri: Masih Ada Peluang Suku Bunga Acuan Turun Lagi
Baca: Bareskrim Polri: 18 Puskesmas di DKI yang Diresmikan Djarot Terindikasi Korupsi
Terkait hal ini, bisa dilihat dari porsi pendapatan yang ditabung pada kuartal 2 2017 yang meningkat menjadi 20,77% dari sebelumnya 18,6% pada kuartal 2 2016.
Selain itu, berdasarkan survei kepercayaan Konsumen yang dilakukan Bank Mandiri nilai tabungan naik dari 20,6% pada Juli menjadi 21,1% pada Agustus.
Di sisi lain, pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) naik tajam sejak Oktober 2016 dan mencapai dua digit yakni sebesar 11,2% pada Mei 2017.
Kelima, ada pula masyarakat yang beralih ke belanja online system atau e-commerce. "Tapi porsinya masih relatif kecil, tidak sampai 2% dari bisnis ritel total," urainya.
Reporter: Barratut Taqiyyah Rafie