Politikus Gerindra Tolak PP 72 2016 Terkait Holding
Rencana holdingisasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menuai protes dari Komisi VI DPR. Kali ini politisi Gerindra Bambang Haryo menilai pembentukan ho
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Rencana holdingisasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menuai protes dari Komisi VI DPR. Kali ini politisi Gerindra Bambang Haryo menilai pembentukan holding menyalahi konstitusi dengan menggunakan Peraturan Pemerintah (PP) No 72 Tahun 2016.
Haryo menjelaskan di dalam PP 72 itu dikatakan bahwa perubahan daripada aset ataupun penambahan kekayaan pemindahan dan sebagainya, itu tidak perlu melalui mekanisme pelaporan kepada DPR.
Baca: KPK Lelang Barang Rampasan Berupa Mobil, Cincin Berlian hingga Lukisan
"Padahal BUMN kan perusahaan negara yang tentu semua perubahan daripada aset, ataupun penjualan saham dan lain-lain itu harus sepengetahuan atau seizin masyarakat yang diwakili oleh DPR," ujar Bambang Haryo, di Jakarta, Kamis (23/11/2017).
Seperti diketahui, sektor pertama yang menjadi target pemerintah dalam mengimplementasikan konsep holding BUMN ialah perusahaan-perusahaan negara yang bergerak di sektor pertambangan.
Hal diketahui melalui rencana pelaksanaan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Luar Biasa, yang sedianya bakal menghapus status perseroan di PT Aneka Tambang (Persero) Tbk, PT Timah (Persero) Tbk dan PT Bukit Asam (Persero) Tbk pada Senin (29/11/2017).
Baca: Pelatihan Kepemimpinan Lets Prove Your Succes Berhasil Digelar
Adapun sektor kedua yang akan menyusul diterapkannya konsep holding BUMN meliputi minyak dan gas bumi, keuangan dan infrastruktur.
Berangkat dari hal itu, tegas Haryo, pemerintah harus menghentikan rencana holdingisasi BUMN sebelum PP 72/2016 direvisi.
"Kalau itu dijalankan terus holding tadi sebenarnya manfaatnya apa? Ini belum dijelaskan kepada masyarakat atau yang diwakili oleh DPR," ungkap Haryo.