Pengendalian Korupsi Harus Jadi Prioritas Utama Pemerintah
Stephenson menjelaskan bahwa pemberantasan dan penanggulangan korupsi tidak memiliki metode khusus yang tetap dan saklek
Editor: Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Hari Anti-Korupsi Internasional baru saja diperingati pada 9 Desember 2017 pekan lalu. Melihat perjuangan pengendalian korupsi di Indonesia, Harvard Club of Indonesia menyelenggarakan sebuah diskusi bertajuk “The Global Fight Against Corruption”.
Melli Darsa, perwakilan Harvard Club of Indonesia yang juga alumni Harvard University angkatan 1994, mengatakan bahwa alumni Harvard University dari Indonesia terdorong untuk mengadakan diskusi tersebut sebagai bentuk dukungan publik terhadap penguatan transparansi, upaya pemberantasan korupsi dan transformasi institusi yang inklusif sesuai hukum.
Baca: Selingkuhan Minta Dinikahi, Tak Diduga Sunari Lakukan Tindakan Biadab
Dia menjelaskan bahwa semua pihak dan anggota masyarakat mulai dari pemerintah, masyarakat, swasta, BUMN dan lainnya perlu bergerak bersama-sama dalam pengendalian korupsi di Indonesia.
"Tidak hanya pemerintah, peranan swasta dan masyarakat juga sangat penting dalam menciptakan sistem yang bersih," kata Melli Darsa, perwakilan Harvard Club of Indonesia sekaligus Founder & Senior Partner Firma Hukum Melli Darsa & Co. dan Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) Bidang Hukum dan Regulasi.
Diskusi tersebut mengundang seorang Profesor Hukum dari Harvard Law School, Amerika Serikat, Profesor Matthew Stephenson. Stephenson menjelaskan bahwa pemberantasan dan penanggulangan korupsi tidak memiliki metode khusus yang tetap dan saklek. Hal ini dikarenakan setiap negara memiliki cara pandang terhadap korupsi yang berbeda-beda dan juga pendekatan budaya yang tak bisa diseragamkan.
Namun menurut Stephenson, pemerintah perlu menjadikan praktik melawan korupsi sebagai prioritas utama jika ingin mencapai pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development).
Semua pihak memang harus bekerja sama, tapi pemerintah memiliki peranan penting dan menjadi motor utama untuk menggerakkan semua pihak yang terlibat dalam pengendalian korupsi dan tidak lagi terjebak dalam mitos yang keliru bahwa korupsi telah menjadi bagian dari budaya masyarakat.
Pengendalian korupsi juga harus konsisten dan berkelanjutan. Apalagi, faktanya hampir semua negara pernah mengalami masa korupsi akut, tak terkecuali negara maju dengan tingkat korupsi rendah seperti Swedia, Norwegia, dan Finlandia.
“Tidak ada satu senjata pamungkas untuk memberantas korupsi di negara manapun. Semua pihak harus bekerja dan bergerak bersama-sama dan pemerintah memiliki peranan penting untuk menggerakkan mereka,” ujar Stephenson.
Stephenson juga menjelaskan bahwa masyarakat bisa turut andil dalam pemberantasan korupsi di suatu negara. Hal ini dikarenakan umumnya masyarakat memiliki kepedulian dan pemahaman terhadap integritas lalu melalui peer pressure pengendalian korupsi dapat diperkuat.
Bentuk tekanan dari masyarakat dapat dilakukan secara individual, aktivitas komersial, hingga penggunaan hak politik saat pemilihan umum.
"Seiring dengan perbaikan kondisi keuangan negara sehingga pemerintah punya dana untuk mendanai kegiatan anti korupsi dengan lebih baik, tekanan dari masyarakat yang semakin peduli dan punya awareness terhadap integritas bisa mendorong Indonesia terus konsisten mengendalikan korupsi," sambung Stephenson.
Pendekatan lain dalam pengendalian korupsi adalah dengan memberikan insentif yang tinggi kepada aparatur negara, perbaikan sistem rekrutmen, penilaian kinerja dengan sistem meritokrasi, memperbaiki sistem dan infrastruktur kebijakan reformasi birokrasi, serta penegakan upaya antikorupsi.
Thomas Lembong, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), menambahkan sejak reformasi Indonesia sudah berkembang positif dalam hal pembenahan internal.
Namun, korupsi secara keseluruhan masih banyak yang harus dibereskan. Belajar dari negara lain, pembangunan sistem dilakukan melalui pengelolaan meritokrasi jabatan (bebas nepotisme), penyederhanaan birokrasi dan regulasi, serta keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi.
”Semakin sedikit regulasi dan sederhana birokrasi tingkat korupsi kian rendah. Pun sebaliknya semakin banyak regulasi, korupsi makin tinggi. Regulasi itu bisa dimonetisasi," tegas Thomas yang merupakan Alumni Harvard University Angkatan 1994 itu.