Sawit sebagai Komoditas Srategis Nasional Harus Dilindungi
Sebagai komoditas strategis nasional, kelapa sawit layak dilindungi negara melalui sebuah regulasi dalam bentuk undang-undang (UU)
Editor: Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sejumlah kalangan mendukung langkah Badan Legislasi (Baleg) DPR yang memasukan RUU Perkelapasawitan ke dalam program legislasi nasional (Prolegnas) 2018.
Sebagai komoditas strategis nasional, kelapa sawit layak dilindungi negara melalui sebuah regulasi dalam bentuk undang-undang (UU). Anggota Komisi IV DPR Hamdhani mengatakan ada beberapa alasan utama pentingnya dibentuknya RUU Perkelapasawitan.
Menurutnya, selain sebagai komoditas strategis nasional yang perlu dilindungi, keberadaan UU ini juga akan melindungi kepentingan petani sawit.
“Harus ada payung hukum khusus, hak-hak petani mestinya dilindungi, karena di perkebunan sawit ini tidak hanya dilakukan oleh pengusaha besar, tapi juga ada para petani baik plasma maupun petani mandiri,” kata Hamdhani di Jakarta, Kamis (21/12/2017).
Sawit, kata dia, saat ini telah menjadi industri besar yang banyak menyerap sekitar 30 juta tenaga kerja baik langsung maupun tidak langsung. Bahkan sejak 2016, komoditas ini memberikan kontribusi
terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional sebesar Rp 260 triliun.
Jumlah ini menempatkan sawit sebagai komoditas yang memberikan kontribusi terbesar terhadap PDB nasional, melampaui sektor pariwisata, minyak dan gas bumi (migas). Oleh karena itu, lanjut
Hamdhani, pemerintah sebaiknya mendukung RUU ini.
Sebab kalau tidak dibuatkan UU khusus, dia yakin lambat laun industri sawit ini akan tergerus oleh komoditas sejenis yang dihasilkan oleh negara asing.
“Eropa dan Amerika toh juga mati-matian melindungi komoditas rapeseed, bunga matahari, canola dan kedelai mereka. Mereka kan selama ini yang melakukan kampanye negatif terhadap sawit kita,” kata legislator dari Daerah Pemilihan (Dapil) Kalimantan Tengah ini.
Dalam UU khusus ini juga mengamanatkan badan khusus yang mengatur soal sawit dari hulu hingga hilir. Adanya badan khusus ini, kata dia, akan memudahkan pemerintah dalam mengatur industri yang telah terbukti menjadi penopang perekonomian nasional ini.
Sebab saat ini, industri sawit diurusi oleh banyak kementerian/lembaga negara. Ironisnya, kebijakan di antara kementerian/lembaga tersebut saling bertolak belakang dan tumpang tindih.
Dalam RUU tersebut, pihaknya akan memperjuangkan adanya dana bagi hasil bagi daerah penghasil sawit.
“Saat ini ada 18 provinsi yang menghasilkan sawit. Namun tidak ada dana bagi hasil yang diberikan ke daerah. Harusnya ada dana bagi hasil sebagaimana yang terjadi di sektor migas. Apalagi industri sawit ini sudah melampaui sektor migas. Dana bagi hasil ini untuk pembangunan daerah,” katanya.
Hamdhani juga tidak setuju jika RUU ini dinilai overlaping dengan UU Perkebunan. Karena UU Perkebunan itu mengatur 127 komoditi. Sementara itu, UU ini mengatur khusus tentang kelapa sawit.
“Untuk menyelesaikan perkelapasawitan perlu sebuah UU yang sifatnya lex specialis,” katanya.