Harga Beras Alami Kenaikan, Pengamat: Pemerintah Terkena Dampak dari Kebijakan yang Dibuat
Nuryaman Berry Hariyanto, menilai pemerintah Indonesia tidak memproteksi produk-produk dari dalam negeri.
Penulis: Glery Lazuardi
Editor: Hendra Gunawan
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Glery Lazuardi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Harga beras mengalami kenaikan pada awal 2018. Salah satu penyebab, karena pemerintah Indonesia belum dapat lepas dari ketergantungan terhadap negara lain.
Pada awal tahun 2018, harga beras di beberapa daerah di Indonesia mengalami kenaikan harga beras yang melewati batas Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah.
Berdasarkan data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional, harga rata-rata beras jenis medium di Jakarta Rp 14.100 per kilogram, melampaui HET yang ditetapkan sebesar Rp 9.450 per kilogram. Angka ini melebihi harga beras pada awal tahun lalu sekitar Rp 9.500.
Pengamat Sospol dan Intelejen, Karyono Wibowo menilai naiknya harga bahan pokok itu, karena sebagai negara merdeka, Indonesia belum mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri. Sehingga, pemerintah memilih impor.
”Lihat saja dari kebutuhan pokok, Indonesia masih banyak impor dari negara tetangga. Contohnya seperti beras, sayur dan buah yang masih berasal dari Thailand dan Tiongkok (China,- Red),” ungkap Karyo, Selasa (9/1/2018).
Menurut dia, derasnya barang impor masuk ke tanah air termasuk bahan pokok merupakan bentuk dari neoliberalisme. Dia melihat ada penjajahan kebutuhan yang nanti akan berpengaruh terhadap regulasi negara.
”Melalui regulasi, mereka (negara lain,- Red) mempengaruhi pemerintahan suatu negara. Mereka memasukan kepentingan negaranya melalui undang undang,” kata dia.
Sementara itu, Direktur Eksekutif LASTIKA’98, Nuryaman Berry Hariyanto, menilai pemerintah Indonesia tidak memproteksi produk-produk dari dalam negeri. Sehingga produk-produk itu kalah saing dengan luar negeri termasuk kebutuhan bahan pokok.
Padahal, kata dia, apabila berkaca kepada jatidiri yang terkandung dalam Pancasila dan cita-cita Proklamasi, seharusnya semangat gotong royong, cinta sesama, pengendalian diri, tenggang rasa dan rela berkorban tetap terjaga dan tidak terkikis
"Semangat cinta Tanah Air dan bangsa banyak terdengar di kemasan teks, pidato-pidato, seruan pejabat, di seminar dan diskusi, tetapi dalam praktek bernegara ada kesenjangan perkataan dan perbuatan. Trisakti dan nawacita program sesuai cita cita founding fathers, tetapi implementasi tak jalan karena banyak menteri tak paham bahkan ada yang orientasi liberal kapitalistik," tambahnya.