Pengamat: Ada Kerancuan Hukum dalam Pembentukan Holding BUMN Tambang
Kerancuan saham Dwi Warna ini membuat induk holding tidak memiliki otoritas penuh sebagai syarat konsolidasi.
Editor: Choirul Arifin
Laporan Reporter Kontan, Pratama Guitarra
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat hukum sumber daya alam dari Universitas Tarumanegara, Ahmad Redi menilai, skenario pemerintah mengendalikan holding BUMN Pertambangan dengan hak istimewa melalui saham Dwi Warna sebagaimana yang diatur pada PP 72 Tahun 2016, telah menyebabkan sengkarut persoalan hukum.
Harusnya, pemerintah tidak memiliki kewenangan atas anak perusahaan holding, terlebih di antaranya terdapat saham publik. Dalam UU Nomor 40 Tahun 2017 tentang perseroan terbatas, bahwa anak perusahaan holding tunduk kepada induk holding.
"Menurut saya memang ada masalah hukum terkait hak istimewa pemerintah pada anak perusahaan holding (PT Aneka Tambang, PTBA, PT Timah) di PT Inalum. Harusnya pada Antam, PTBA, dan PT Timah ada saham publik yang tidak bisa diganggu dengan hak istimewa Pemerintah," kata dia melalui siaran tertulis, Senin (5/2/2018).
Baca: Sampah di Pintu Air Manggarai: Dari Sofa, Kulkas, Sampai Kandang Ayam dan Burung
Ia mengatakan, kerancuan saham Dwi Warna ini membuat induk holding tidak memiliki otoritas penuh sebagai syarat konsolidasi. Sehingga tujuan holding untuk meningkatkan nilai aset tidak tercapai.
Baca: Penyidik KPK Rasakan Hal-hal Ganjil Saat Geledah Vila Mewah Zumi Zola di Tanjung Jabung Timur
"Dampaknya ada mekanisme Peraturan Standar Akuntansi 65 (PSAK) yang baku yang tidak dapat mengakomodir pengaturan saham dengan hak istimewa pemerintah," ujarnya.
Sebagaimana diketahui, pemerintah tidak bisa sepenuhnya melepas BUMN menjadi anak perusahaan holding karena akan melanggar undang-undang mengenai privatisasi BUMN. Karenanya pemerintah mengatur kuasa saham Dwi Warna melalui PP 72 pasal 2 ayat 2.