Cukai Rokok Listrik Dipatok 57 Persen dari Harga Berlaku Mulai 1 Oktober
Dengan keputusan itu maka sampai 1 Oktober 2018, penjualan likuid vape tanpa cukai masih diperbolehkan pemerintah.
Editor: Choirul Arifin
Laporan Reporter Kontan, Adinda Ade Mustami
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerintah menunda realisasi pungutan cukai terhadap likuid rokok elektrik (vape). Sebelumnya pemerintah berencana menarik cukai vape sebesar 57% mulai 1 Juli 2018, namun kemudian diundur menjadi berlaku mulai 1 Oktober 2018.
Pelaksana tugas (Plt) Direktur Teknis dan Fasilitas Cukai Direktorat Jenderal (Ditjen) Bea Cukai Kementerian Keuangan (Kemkeu) Nugroho Wahyu mengatakan, penundaan itu adalah relaksasi pelaksanaan cukai vape.
Dengan keputusan itu maka sampai 1 Oktober 2018, penjualan likuid vape tanpa cukai masih diperbolehkan pemerintah.
"Kami tidak bisa menjalankan aturan per 1 Juli untuk semuanya. Hal ini karena yang pakai sudah banyak. Makanya, kami beritahu ke pelaku pasar, sampai 1 Oktober masih boleh dijual vape yang tidak tertempel pita cukai," kata Nugroho, Selasa (3/7).
Namun begitu, ada syaratnya bagi pedagang yang ingin menjual likuid vape tanpa cukai. Syaratnya adalah cairan tersebut harus diproduksi sebelum bulan Juli 2018. Sementara likuid vape yang diproduksi setelah Juli 2018, harus dikenakan cukai sebesar 57% dari nilai jualnya.
Baca: Pemprov DKI Hadirkan Jakarnaval dengan Kemasan Beda untuk Gaungkan Asian Games
Saat aturan cukai likuid vape diberlakukan secara efektif, maka nantinya pengusaha harus memesan pita cukai ke Ditjen Bea dan Cukai.
"Yang nge-vape, nanti di cairannya ada pita cukainya," tambah Nugroho.
Pengenaan cukai ini berpotensi menambah penerimaan negara. Sebab, menurut perhitungan Ditjen Bea Cukai, potensi bisnis likuid vape cukup besar mencapai Rp 5 triliun sampai dengan Rp 6 triliun.
Lantaran baru dikenakan penuh pada 1 Oktober 2018, maka potensi penerimaan negara yang akan didapat hanya sekitar Rp 200 miliar.
Namun Nugroho menghitung, saat ketentuan ini berlaku menyeluruh mulai tahun depan, maka ada potensi penerimaan negara yang lebih besar mencapai Rp 2 triliun. Nugroho mengaku, pihaknya akan melakukan pengawasan terhadap ketentuan ini.
Tarif terlalu tinggi
Pungutan cukai likuid vape sesuai Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor PMK-146/PMK.010/2017 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau.
Tarif pajak likuid vape di Indonesia bisa dikatakan cukup tinggi. Berdasarkan data Ditjen Bea Cukai, rata-rata penerapan cukai likuid vape di negara lain sekitar 20%.
Negara yang sejauh ini menerapkan cukai likuid vape tertinggi adalah Rusia 81,17% dan Portugal dengan tarif 62,92%.
Harga jual di tingkat konsumen untuk produk ini pun bervariasi. Jika harga mesin rokok elektrik mencapai Rp 300.000-Rp 2 juta per unit, maka likuid esence yang akan dikonsumsi mencapai Rp 90.000–Rp 300.0000.
Ketua Humas Asosiasi Personal Vaporizer Indonesia (APVI) Rhomedal Aquino memastikan penerapan cukai untuk likuid vape ini sangat memberatkan pelaku usaha.
Selama ini pelaku usaha likuid vape adalah industri kecil dan menengah yang menggantungkan hidup pada bisnis ini.
Bila rencana ini tetap akan dijalankan, maka hampir dipastikan 5.000 toko yang menjajakan likuid vape selama ini bakal tutup dan mati.
Bahkan, dia menilai tak perlu menunggu waktu dalam hitungan tahun untuk menggulung industri ini, karena bila berlaku penuh kebijakan ini, maka dalam enam bulan sudah bisa dilihat dampaknya.
Ia juga mengkritik angka 57% yang menjadi pilihan bagi pemerintah menerapkan aturan ini.
Selain baru pertama kali menerapkannya, pemerintah juga tak mengacu pada negara Eropa yang hanya menetapkan cukai ini pada batas 20%. Bahkan, Korea Selatan yang sesama negara Asia hanya 16,7%.
Sebenarnya selain cairan rokok elektrik, pemerintah juga akan menerapkan beberapa cukai baru, seperti cukai plastik dan cukai minuman berpemanis.
Bahkan potensi penerimaan cukai plastik sudah dimasukkan dalam Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2018.
Namun sampai hari ini, kebijakan cukai plastik belum juga dijalankan.
Ditjen Bea dan Cukai beralasan, selain banyak menimbulkan pro dan kontra, belum direalisasikannnya penggenaan cukai plastik karena menunggu pembahasan dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).