Defisit Transaksi Berjalan Melebar, Rupiah Kian Tertekan
Rupiah, sore ini ditutup melemah ke posisi Rp 14.608 per dolar AS. Dengan posisi tersebut, depresiasi Rupiah sebesar 7,80 persen
Penulis: Syahrizal Sidik
Editor: Fajar Anjungroso
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA — Bank Indonesia menyatakan defisit neraca transaksi berjalan pada triwulan kedua 2018 naik menjadi 8 miliar dolar AS atau 3 persen dari PDB.
Angka ini tercatat lebih tinggi dibandingkan defisit pada triwulan sebelumnya sebesar 5,7 miliar dolar AS atau 2,2 persen dari PDB.
Kepala Departemen Komunikasi Bank Indonesia Agusman dalam keterangan pers menyampaikan, peningkatan defisit transaksi berjalan dipengaruhi penurunan surplus neraca perdagangan nonmigas di tengah kenaikan defisit neraca perdagangan migas.
Menanggapi hal itu, Ekonom Centre of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah menilai, melebarnya defisit transaksi berjalan hingga 3 persen dari PDB memicu sentimen negatif di pasar pada hari ini.
Rupiah, sore ini ditutup melemah ke posisi Rp 14.608 per dolar AS. Dengan posisi tersebut, depresiasi Rupiah sejak awal tahun tercatat sebesar 7,80 persen.
Baca: Kisah Seragam SMP yang Masih Miliki Kandungan Radioaktif Bom Hiroshima
“Data Neraca Pembayaran Indonesia menunjukkan bahwa kita mengalami shortage dollar. Permintaan dollar jauh di atas ketersediaan dollar. Sementara kita ketahui bahwa suplai dollar kita juga tidak efektif karena eksportir banyak yang menyimpan dollarnya,” kata Piter kepada Tribunnews.com, Senin (13/8/2018).
Selain itu, adanya potensi bahwa krisis ekonomi Turki akan merambat ke Eropa dan bahkan global menambah kekhawatiran pelaku pasar. Hal itu terlihat dari depresiasi mata uang lira Turki yang mencapai 40 persen.
“Hal ini memperbesar tekanan terhadap Rupiah. Jadi tidak heran apabila rupiah pada hari ini tertekan cukup dalam,” kata Piter.
Untuk itu, menurutnya, Bank Indonesia dan pemerintah harus segera mengambil tindakan untuk mengembalikan kepercayaan pasar agar Rupiah tidak melemah lebih dalam.
Prediksi di Triwulan III
Piter memprediksi, di triwulan ketiga 2018, harga minyak dunia masih ada potensi terus meningkat seiring meningkatnya ketegangan AS dan Iran. Sementara, Rupiah juga masih terus dalam tekanan. “Kombinasi keduanya akan menyebabkan defisit neraca perdagangan khususnya utk minyak masih akan besar,” jelas Piter.
Namun, untuk defisit di neraca pendapatan primer, menurutnya ada kemungkinan mengecil karena pembayaran return investasi asing sudah melewati puncaknya pada triwulan kedua 2018.
“Pada triwulan ketiga defisit transaksi berjalan besar kemungkinan akan kembali ke kisaran 2 sampai dengan 2,5 persen PDB,” pungkasnya.