Demi Stabilkan Rupiah, PSI Dukung Pungutan Ekspor CPO Dihapus
“Kita melihat harga sawit juga terus melemah. Banyak hambatannya di pasar Uni Eropa. Padahal selama ini industri ini jadi penyumbang terbesar devisa"
Penulis: Fransiskus Adhiyuda Prasetia
Editor: Choirul Arifin
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Fransiskus Adhiyuda
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Partai Solidaritas Indonesia (PSI) mendukung penghapusan sementara pungutan hasil ekspor minyak kelapa sawit atau crude palm oil (CPO) dan produk turunannya.
Langkah ini dinilai dapat memperkuat ekspor dan memperkuat nilai tukar rupiah melalui masuknya devisa hasil ekspor.
“PSI mendukung segala upaya menstabilkan rupiah, termasuk penghapusan sementara pungutan sawit,” kata Juru Bicara Bidang Ekonomi, Industri, dan Bisnis Rizal Calvary Marimbo dalam keterangannya, Kamis (13/9/2018).
Rizal mengatakan, saat ini pemerintah perlu memperkuat insentif kepada dunia usaha yang berorientasi ekspor, guna meningkatkan masuknya devisa ke dalam negeri.
Sebagaimana diketahui, selama ini pungutan ekspor minyak sawit dikenakan sekitar US$ 50 per ton. Sedangkan produk turunan minyak sawit dikenakan sebesar US$ 30 per ton.
Baca: Pahala Mansury: Dicopot dari Kursi Dirut Garuda, Dipasang Jadi Direktur Keuangan Pertamina
“Kita melihat harga sawit juga terus melemah. Banyak hambatannya di pasar Uni Eropa. Padahal selama ini industri ini jadi penyumbang terbesar devisa negara. Jadi kita melihat dunia usaha butuh dukungan dengan insentif berupa penghapusan pungutan-pungutan,” ucap Rizal.
Rizal mengatakan, penghapusan ini hanya bersifat sementara, menunggu penguatan dan stabilitas mata uang Garuda. Sampai dengan 2018, Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) menargetkan dana pungutan ekspor kelapa sawit sebesar mencapai Rp 13 triliun.
Baca: Pengalaman Ustaz Felix Siauw Jadi Korban Persekusi Saat Berdakwah di Bangil, Pasuruan
Sebanyak 70 persen dana tersebut akan digunakan untuk pemberian insentif produksi biodiesel. Pada 2017, dana pungutan yang berhasil dikumpulkan mencapai Rp 14,2 triliun.
Revisi UU Lalu Lintas Devisa
Dalam jangka panjang, PSI berpandangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) perlu mengkaji untuk merevisi Undang-Undang Lalu Lintas (Lalin) Devisa No. 24 tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar.
“Kemungkinan untuk merevisi UU Lalin Devisa perlu dipertimbangkan oleh parlemen dalam jangka panjang ke depan. Kalau PSI dipercayakan rakyat duduk disana, akan kita kaji dan dorong ke sana,” ujar Rizal.
Rizal mengatakan, pemerintah membutuhkan stabilitas nilai tukar dalam mendorong investasi ke sektor ril di dalam negeri. Fluktuasi nilai tukar kerap mempersulit dunia usaha dalam menyusun rencana anggaran investasi, modal kerja, atau proyeksi bisnis.
”Bagi iklim investasi, instabilitas ini kurang baik juga, rencana bisa berubah-ubah proyeksinya. Costing dan pricing berubah-ubah,” pungkas dia.