Peternak Ayam Minta Pemerintah Hentikan Ekspor Jagung
Menurut Musbar, para peternak unggas dan produsen pakan ternak masih terjerat pada harga jagung yang relatif tinggi.
Editor: Malvyandie Haryadi
TRIBUNNEWS.COM - Kebijakan ekspor jagung yang dilakukan Kementerian Pertanian (Kementan) dinilai tidak berdasar perhitungan yang tepat dalam menjaga ketersediaan kebutuhan dalam negeri.
Pasalnya, hingga saat masih terjadi kekurangan yang disebabkan menurunnya produksi jagung akibat musim kemarau.
Baca: Mengaku Susah, Setya Novanto Tetap Tampil Casual Hadir di Pengadilan Tipikor
Baca: Pengamat Nilai Usulan Debat Capres-Cawapres Pakai Bahasa Inggris Keblinger
Peternak ayam berharap pemerintah lebih mengutamakan kebutuhan jagung untuk dalam negeri.
"Dianjurkan, demi kepentingan nasional, ekspor jagung dihentikan total," kata Presiden Peternak Layer (ayam petelur) Nasional, Ki Musbar Mesdi, kepada wartawan, Jumat (14/9/2018)
Salah satu alasan dilakukannya kebijakan ekspor jagung karena disebutkan terjadi surplus panen.
Akan tetapi, validitas data surplus tersebut masih dipertanyakan. Sebab, hal itu tidak sejalan dengan menurunnya harga dan ketersediaan jagung di pasaran.
Menurut Musbar, para peternak unggas dan produsen pakan ternak masih terjerat pada harga jagung yang relatif tinggi.
Target dan capaian yang disebutkan oleh Kementan sampai saat ini belum dapat menekan harga jagung. Seharusnya, lanjut dia, ketika panen tinggi, harga dipasaran menurun.
Disebutkan, tahun ini pemerintah menargetkan untuk menghasilkan jagung sebesar 33 juta ton, naik sekitar 10 juta ton dari tahun 2017. Sementara kebutuhan jagung untuk peternak dan pakan ternak sekitar 9 juta ton per tahun.
"Artinya, kalau kita hanya butuh 9 juta ton, sementara produksi nasional 23 juta ton (tahun 2017), harusnya harga jagung sekitar Rp3 ribuan, tapi ini tidak pernah mencapai angka segitu, diatas Rp 3.700 sampaI Rp 4ribu lebih. Kalau misalnya produksinya berlebih, pasti murah dan mudah," tandasnya.
Disisi lain dia menegaskan bahwa keberadaan jagung sangat memberikan efek terhadap keberlangsungan sektor peternakan.
"Kelangsungan hidup 1,8 juta peternak unggas nasional dipertaruhkan disini. Kalau tidak ada jagung, ayam tidak bertelor, suplai telor ke pasar kurang," jelas Musbar.
Ketua Pusat Kajian Pertanian Pangan dan Advokasi (Pataka) Yeka Hendra Fatika menegaskan bahwa ekspor jagung yang dilakukan Kementerian Pertanian adalah hal yang sudah biasa dan sudah berlangsung bertahun-tahun.
"Kalau bicara ekspor jagung ke Filipina itu kan border trading area (jual beli wilayah perbatasan), masalahnya sederhana, jagung itu kalau dikirim dari Gorontalo ke Jabotabek jadi mahal, jadi diekspor ke Filipina, ini sudah berlangsung puluhan tahun namun tidak terekspos, jadi bukan prestasi," ujarnya.