Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Bisnis

JPMorgan Memprediksi, Krisis Finansial Berikutnya Akan Terjadi Tahun 2020

JPMorgan berpendapat, investor harus mempersiapkan diri untuk menghadapi krisis tersebut yang diprediksi terjadi pada 2020.

Editor: Choirul Arifin
zoom-in JPMorgan Memprediksi, Krisis Finansial Berikutnya Akan Terjadi Tahun 2020
WARTA KOTA/HENRY LOPULALAN
Ilustrasi 

Laporan Reporter Kontan, Barratut Taqiyyah Rafie

TRIBUNNEWS.COM, NEW YORK - Seberapa buruk krisis finansial berikutnya akan terjadi? Berikut analisa JPMorgan Chase & Co.

Satu dekade setelah kolapsnya Lehman Brothers yang memicu anjloknya pasar saham global dan dirilisnya kebijakan darurat, sejumlah analis JPMorgan menciptakan sebuah model yang bertujuan untuk mengukur waktu dan tingkat keparahan krisis finansial yang berikutnya.

JPMorgan berpendapat, investor harus mempersiapkan diri untuk menghadapi krisis tersebut yang diprediksi terjadi pada 2020.

Kabar baiknya adalah, berdasarkan analisis mereka, dampak krisis berikutnya tidak akan separah dibanding krisis sebelumnya. Sedangkan kabar buruknya, penurunan likuiditas pasar finansial sejak 2008 menjadi "wildcard" atau "kartu liar" yang sulit diprediksi.

Model yang dibuat JPMorgan menghitung hasil berdasarkan lamanya waktu ekspansi ekonomi, durasi dari potensi resesi berikutnya, tingkat leverage, valuasi harga aset, serta level deregulasi dan inovasi finansial sebelum terjadinya krisis.

Dengan asumsi tingkat rata-rata panjangnya waktu resesi, model ini menghasilkan estimasi performa kelas aset yang berbeda untuk krisis berikutnya.

Berita Rekomendasi

"Dilihat dari seluruh aset, proyeksi ini terlihat lebih jinak dibandingkan dengan apa yang disampaikan oleh GFC dan mungkin tidak terkait dengan rata-rata resesi / krisis di masa lalu," jelas tim riset JPMorgan John Normand dan Federico Manicardi seperti yang dikutip dari Bloomberg.

Tim riset juga menulis, selama resesi dan krisis keuangan global berikutnya, indeks S&P 500 akan turun 54% dari level  puncaknya. “Kami akan mendorong ini semua setidaknya ke norma-norma historis mereka karena wildcard dari pasar yang secara struktural kurang likuid," jelas JPMorgan.

Sebelumnya, Marko Kolanovic dari JPMorgan juga telah menyimpulkan bahwa pergeseran besar dari investasi yang dikelola secara aktif -melalui peningkatan dana indeks, dana yang diperdagangkan di bursa, dan strategi perdagangan berbasis kuantitatif- telah meningkatkan bahaya berupa gangguan di pasar finansial.

Dia dan rekan-rekannya menulis dalam catatan terpisah pada Senin lalu tentang besarnya potensi kemunculan  "Krisis Likuiditas Besar" di masa depan.

Baca: Kemenhub Akan Libatkan Telkom di Pembuatan dan Penyediaan Aplikasi Transportasi Online

"Pergeseran dari manajemen aset yang aktif ke pasif, dan khususnya penurunan nilai investor yang aktif, mengurangi kemampuan pasar untuk mencegah dan pulih dari penarikan dana besar-besaran," tulis Joyce Chang dan Jan Loeys dalam hasil riset yang dipublikasikan Senin (10/9) lalu.

Kekhawatiran likuiditas

"Perubahan ini telah menghilangkan sekumpulan besar aset yang siap untuk dibeli oleh sekuritas publik dengan harga murah dan menghentikan gangguan pasar," Chang dan Loeys memperingatkan.

Normand dan Manicardi menambahkan, salah satu hal yang patut digarisbawahi saat terjadinya guncangan pada emerging market adalah: aset-aset di negara berkembang menjadi lebih murah tahun ini, sehingga membantu membatasi penurunan selama krisis berikutnya sekaligus mengimbangi penumpukan utang.

Selain masalah likuiditas, Normand dan Manicardi menyoroti panjangnya masa waktu krisis berikutnya sebagai ketidakpastian penting dalam mengukur seberapa buruk krisis yang akan terjadi.

Analisis mereka dari episode masa lalu menunjukkan, semakin lama resesi berlangsung, biasanya semakin besar pukulan ke pasar.

Sumber: Kontan
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas