Ekonom: Indonesia Berpotensi Terpapar Krisis Mata Uang Dunia
Kondisi fundamen ekonomi Indonesia yang saat ini dinilai cukup stabil, dengan tingkat inflasi 3,2 persen, defisit APBN 1,9 persen
Penulis: Syahrizal Sidik
Editor: Fajar Anjungroso
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Syahrizal Sidik
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA — Ekonom Centre of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah, menilai negara-negara di pasar sedang berkembang atau emerging markets Asia, termasuk Indonesia berpotensi terdampak pengaruh krisis mata uang dunia sebagaimana yang terjadi pada lira di Turki dan peso di Argentina.
Seperti diketahui, kedua negara itu saat ini mengalami krisis mata uang, di mana depresiasi niai tukar lira Turki dan peso Argentina mencapai 40 persen terhadap dolar Amerika Serikat.
“Negara-negara yang punya hubungan ekonomi yang kuat dengan Turki dan Argentina atau dengan wilayah Eropa dan Amerika Latin akan berpotensi terdampak lebih besar. Dalam hal ini kita bisa meyakini dampaknya ke Indonesia relatif kecil,” kata Piter, kepada Tribunnews.com, Kamis (27/9/2018).
Padahal, kondisi fundamen ekonomi Indonesia yang saat ini dinilai cukup stabil, dengan tingkat inflasi 3,2 persen, defisit APBN 1,9 persen dan pertumbuhan ekonomi 5,3 persen.
Namun, yang menjadi sorotan ekonom, adalah soal transaksi berjalan Indonesia yang tercatat masih defisit sebesar 8,02 miliar dolar AS atau 3,04 persen Produk Domestik Bruto pada triwulan kedua 2018, meningkat dari triwulan sebelumnya yang defisit 2,21 persen PDB atau setara 5,71 miliar dolar AS.
Baca: Tak Tepati Janji Open Suspend, Aliando Nilai Grab Ciderai Hasil Audensi
“Negara dengan transaksi berjalan surplus akan lebih imune, sementara negara yang defisit transaksi berjalan besar akan mudah terdampak. Dalam hal ini Indonesia cukup berpotensi terdampak,” katanya.
Hal yang sama juga disampaikan Ekonom Insitute For Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira Adhinegara.
Menurutnya, hampir sebagian besar laporan lembaga riset dan keuangan yang kredibel memprediksi krisis besar akan terjadi paling lambat 2020. Tidak terkecuali Indonesia sangat rentan terpapar krisis.
“Bloomberg vulnerability index atau indeks keretanan dunia menempatkan Indonesia di posisi ke 6 sebagai negara yang paling rawan krisis. Defisit transaksi berjalan Indonesia cukup dalam, utang dalam bentuk valas juga bisa jadi bom waktu karena tidak semua dilindung nilai atau hedging,” kata Bhima kepada Tribunnews.com, Kamis (27/9/2018).
Perbaiki Defisit Transaksi Berjalan
Bhima menyebut, obat yang paling ampuh dalam mengantisipasi dampak dari krisis mata uang tersebut adalah dengan memperbaiki defisit transaksi berjalan.
“Pendalaman pasar keuangan di mana ketergantungan terhadap dana asing jangka pendek harus dikurangi. 40 persen surat utang pemerintah dikuasai asing yang sewaktu waktu bisa berbalik arah,” katanya.
Sementara itu, Ekonom Piter Abdullah menilai, upaya pemerintah dalam memperbaiki defisit transaksi berjalan cukup tepat dengan kewajiban mandatori biodiesel 20 persen dan pengendalian impor melalui penyesuaian trif pajak terhadap 1.147 komoditas barang konsumsi.
“Upaya pemerintah sudah tepat seperti kewajiban B20 dan pengenaan PPh impor barang konsumsi. Tinggal menjaga efektivitasnya serta mencari upaya lain yang bisa mengurangi impor dan meningkatkan ekspor,” tandas Piter.