Rupiah Ditutup Melemah ke Level Rp 15.075 per Dolar AS
Bloomberg mencatat, hari ini laju Rupiah ditransaksikan pada kisaran Rp 15.065 hingga Rp 15.087 per dolar Amerika Serikat.
Penulis: Syahrizal Sidik
Editor: Fajar Anjungroso
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA — Nilai tukar Rupiah terhadap dolar Amerika Serikat ditutup melemah ke posisi Rp 15.075 per dolar AS pada perdagangan Rabu (3/10/2018).
Pada awal perdagangan, laju Rupiah dibuka melemah pada posisi Rp 15.065 per dolar AS. Dengan posisi sore ini, depresiasi Rupiah sejak awal tahun menjadi 11,21 persen.
Bloomberg mencatat, hari ini laju Rupiah ditransaksikan pada kisaran Rp 15.065 hingga Rp 15.087 per dolar Amerika Serikat.
Sementara itu, berdasarkan data kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) Bank Indonesia, hari ini, posisi Rupiah melemah ke posisi Rp 15.088 per dolar Amerika Serikat dari sebelumnya, Rp 14.988 per dolar AS.
Analis Senior CSA Research Institue Reza Priyambada berpendapat, laju rupiah melemah terimbas adanya kenaikan dolar AS seiring dengan pelemahan mata uang Euro pasca kondisi ekonomi dan politik yang kembai bergejolak.
Baca: Program Flash Sale Advan G3 Jilid Dua Akhirnya Dibuka Lagi
“Bahkan pelemahan Rupiah kali ini dinilai lebih dalam sejak tahun 1998 dan memimpin pelemahan dibandingkan sejumlah mata uang negara-negara berkembang,” kata Reza.
Sementara, Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik Universitas Gajah Mada Tony Prasetiantono, menduga ada dua penyebab pelemahan Rupiah yang menembus level Rp 15.000 per dolar AS.
Pertama, menurut Tony, pasar merasa suku bunga acuan BI 7-day Reverse Repo Rate belum cukup atraktif untuk menjadi insentif bagi investor untuk “memegang” rupiah kendati Bank Indonesia memutuskan menaikkan tingkat suku bunga acuan sebesar 25 basis poin menjadi 5,75 persen dalam Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia pada 26-27 September 2018.
“Jika dihitung dari level terendahnya The Fed sudah menaikkan suku bunga sampai 200 bps. Sedangkan BI baru 150 bps dari 4,25 persen ke 5,75 persen. Berarti memang perlu suku bunga yang lebih atraktif lagi,” kata Tony kepada Tribunnews.com, Selasa (2/10/2018)
Faktor kedua, lanjut Tony adalah kenaikan harga minyak global yang memberi sentimen negatif bagi kondisi fiskal Indonesia. ”Kini harga minyak Brent sudah mencapai 83 dolar AS per barrel, jauh melebihi asumsi harga minyak APBN di level 48 dolar AS per barrel.
Menurutnya, Rupiah akan cenderung stabil di level Rp 15 ribu hingga akhir tahun ini jika otoritas moneter kembali menaikkan tingkat suku bunga acuan dan Pemerintah bisa segera mengerem impor, sehingga defisit transaksi berjalan bisa ditekan di bawah 3 persen Produk Domestik Bruto.