RAPBN 2019 Pakai Asumsi Kurs Rp 15.000 Per Dolar AS, Ini Pendapat Ekonom
"Tekanan terhadap rupiah diperkirakan masih akan berlanjut meski Gubernur BI menyampaikan tahun 2019 ada faktor yang lebih positif"
Penulis: Syahrizal Sidik
Editor: Choirul Arifin
Laporan Reporter Tribunnews, Syahrizal Sidik
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA — Ekonom PT Bank Permata Tbk (BNLI) Josua Pardede menilai, keputusan pemerintah membuat patokan baru nilai tukar rupiah terhadap dolar AS di level Rp 15.000 dari sebelumnya Rp 14.500 di RAPBN 2019 cukup tepat.
Menurutnya, perubahaan tersebut telah mempertimbangkan dari kondisi global seperti meningkatnya eskalasi perang dagang dan potensi kenaikan suku bunga acuan The Federal Reserve.
“Asumsi APBN kan rata-rata, bukan hasil akhir tahun depan, sepanjang tahun depan di level 15 ribu. Saya pikir dengan melihat kondisi globalnya sendiri, perang dagang dan kenaikan suku bunga AS memang level Rp 15 ribu mestinya pemerintah sudah memperhatikan hal itu,” kata Josua kepada Tribunnews.com, Kamis (19/10/2018).
Namun, Josua menegaskan, level Rp 15.000 sebagai titik keseimbangan baru bukanlah yang terpenting. Sebab, yang paling mendasar dengan munculnya asumsi tersebut adalah kesehatan fiskal dapat terjaga.
“Menteri Keuangan Sri Mulyani sendiri mengatakan bisa saja tahun depan meski rupiah Rp 15 ribu, tapi defisit fiskal kita masih di bawah 2 persen,” ungkapnya.
Baca: Prediksi Ekonom: Pertumbuhan Kredit Akan Melambat Terimbas Perang Dagang
Seperti diberitakan sebelumnya, Badan Anggaran DPR menyetujui perubahan asumsi kurs rupiah yang disampaikan Pemerintah dari sebelumnya Rp 14.500 per dolar AS menjadi Rp 15.000 per dolar AS di RAPBN 2018.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyampaikan, perubahan asumsi kurs yang diusulkan pemerintah itu merupakan nilai tengah selaras berubahnya proyeksi Bank Indonesia terkait nilai tukar rupiah pada kisaran Rp 14.800 hingga Rp 15.200 per dolar Amerika Serikat di tahun depan.
“Keseluruhan kurs 2018 rata-rata Rp 15.000 (per dollar AS). Tekanan terhadap rupiah diperkirakan masih akan berlanjut meski Gubernur BI menyampaikan tahun 2019 ada faktor yang lebih positif terutama di semester kedua,” kata Menteri Keuangan Sri Mulyani di Ruang Rapat Banggar DPR, Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (17/10/2018).
Dengan asumsi tersebut, Sri mengatakan adanya peningkatan dari sisi pendapatan negara sebesar Rp 10,3 triliun menjadi Rp 2.165,1 triliun dari postur RAPBN 2019 sebelumnya.
Selain itu, dengan asumsi kurs yang lebih tinggi, belanja negara juga naik menjadi Rp 2.462,3 triliun. “Dengan kenaikan kurs, ini akan menaikkan belanja Rp 10,9 triliun," kata Sri Mulyani.