BI: Remitansi Bisa Perbaiki Defisit Transaksi Berjalan
Bank Indonesia menyatakan layanan remitensi tenaga kerja Indonesia punya potensi untuk memperbaiki defisit transaksi berjalan.
Penulis: Syahrizal Sidik
Editor: Malvyandie Haryadi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Syahrizal Sidik
TRIBUNNEWS.COM, SURABAYA – Bank Indonesia menyatakan layanan remitensi tenaga kerja Indonesia punya potensi untuk memperbaiki defisit transaksi berjalan.
Sebab, transfer uang yang dilakukan pekerja Indonesia di negara lain ke dalam negeri mencapai 8,8 miliar dollar AS atau setara Rp 128 triliun dengan kurs Rp 14.500 per dollar AS.
Deputi Gubernur Bank Indonesia Sugeng mengatakan dengan jumlah penduduk 250 juta, Indonesia seharusnya punya potensi remitansi yang lebih besar.
Sebab, jika dibandingkan dengan Filipina, yang jumlah penduduknya 104,9 juta, remitansinya masih jauh lebih besar yaitu 24 miliar dolar AS, sekitar Rp 348 triliun.
Baca: Cek Kepribadian dari Cara Pegang Setir Mobil
“Itulah kondisi saat ini yang harus dibenahi, 62 persen remitansi berjalan secara nontunai, 30 persennya tidak gunakan rekening bank, ditarik tunai,” kata Sugeng di sela acara Festival Ekonomi Syariah (ISEF) di Surabaya, Jumat (14/12/2018).
Sugeng menuturkan, optimalisasi layanan remitansi perlu dilakukan agar dapat mendorong aliran dana masuk ke dalam negeri, sehingga diharapkan bisa membantu memperbaiki defisit transaksi berjalan.
Data Bank Indonesia menyebutkan, pada triwulan ketiga 2018, transaksi berjalan tercatat defisit sebesar 8,8 miliar dolar AS atau setara 3,37 persen Produk Domestik Brutp, lebih tinggi dibandingkan dengan defisit triwulan sebelumnya sebesar 8,0 miliar dolar AS atau 3,02 persen PDB.
Menurut Sugeng, nilai remitansi memang masih rendah, hal itu lantaran akses masyarakat ke layanan perbankan atau inklusi keuangan masih rendah. Hingga akhir 2017, tingkat inklusi keuangan Indonesia baru mencapai 49 persen, berbeda dengan Malaysia yang inklusi keuangannya sudah mencapai 85 persen, Thailand 82 persen dan Singapura 98 persen.
“Strategi Nasional Keuangan Inklusi (SNKI) yang dilaunching Presiden Joko Widodo pada 2016 lalu menargetkan 75 persen 2019. Dari 49 persen ke 75 persen harus berjuang keras, tapi arahnya harus ke situ,” kata dia.
Kolaborasi dengan Pesantren
Bank Indonesia juga mendorong optimalisasi model bisnis dan layanan remitansi, salah satunya layanan remitansi berkolaborasi dengan badan usaha milik pesantren. Pasalnya, pesantren memiliki potensi yang sangat besar untuk tumbuh dan terus berkembang, misalnya Balai-usaha Mandiri Terpadu atau Baitul Maal wa Tamwil (BMT) sebagai salah satu titik penerimaan dana remitansi.
Indonesia, kata Sugeng saat ini masih menghadapi tantangan, yakni masih terdapat praktik penitipan jasa remitansi kepada orang yang dipercaya (praktik Hawala) dan remitansi yang ditarik secara tunai. “Untuk menjawab tantangan tersebut perlu dilakukan optimalisasi model bisnis dan layanan remitansi yang memperkuat akses layanan keuangan,” kata dia.
Dorongan Bank Indonesia terhadap penguatan remitansi juga sejalan dengan program Desa Migran Produktif yang diprakarsai Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.