Defisit Perdagangan Indonesia Melebar, Investor Hati-hati Pegang Rupiah
ndonesia mencatat defisit perdagangan paling lebar selama lebih dari lima tahun terakhir di bulan November 2018 lalu
Penulis: Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Minat investor terhadap mata uang pasar berkembang termasuk Indonesia, merosot di perdagangan pekan ini. Penyebabnya, pasar semakin khawatir pada pertumbuhan ekonomi global yang melambat. "Kekhawatiran tentang berbagai faktor risiko geopolitik memicu sentimen beli terhadap Dolar yang semakin memukul mata uang pasar berkembang," sebut Lukman Otunuga, Research Analyst FXTM, Selasa (18/12/2018).
Lukman menjelaskan, rupiah kesulitan untuk bertahan terhadap dolar AS karena sentimen waspada dan data ekonomi Indonesia yang lebih, sehingga menambah tekanan bagi mata uang ini.
Biro Pusat Statistik (BPS) dalam laporan terbarunya menyebutkan Indonesia mencatat defisit perdagangan paling lebar selama lebih dari lima tahun terakhir di bulan November 2018 lalu karena penurunan ekspor.
Defisit perdagangan mencapai $2.05 miliar, sehingga Rupiah terancam menutup tahun 2018 dengan kurang menggembirakan.
Walaupun Fed diperkirakan akan meningkatkan suku bunga pekan ini, Bank Indonesia sepertinya tidak akan mengambil langkah – terutama mengingat BI sudah meningkatkan suku bunga sebanyak enam kali sejak Mei.
Dolar AS diuntungkan oleh arus safe haven dan ekspektasi kenaikan suku bunga di bulan Desember, sehingga Rupiah dan banyak mata uang pasar berkembang lainnya tetap terancam melemah.
Dari aspek teknis, kurs dolar terhadap rupiah berada di kisaran Rp 14600 saat laporan ini dituliskan. Dolar yang menguat dapat mengantarkan mata uang ini lebih tinggi lagi yaitu menuju Rp 14660 di jangka pendek.
"Pekan ini adalah pekan menarik terakhir di tahun ini dengan berbagai peristiwa berisiko termasuk rilis data ekonomi penting dan berbagai keputusan kebijakan moneter," ungkap Lukman Otunuga.
Baca: Harga Minyak Jatuh Ke Titik Rendah, Harga Jual BBM Pertamina Kok Belum Juga Turun?
Rapat Federal Reserve pekan ini akan sangat dipantau oleh investor. Kenaikan suku bunga terakhir 2018 hampir pasti akan terjadi, namun yang lebih penting adalah bagaimana pergerakan dot plot Fed di tahun 2019 dan selanjutnya.
Jika pengambil kebijakan moneter AS melihat risiko besar terjadinya perlambatan ekonomi, titik-titik pada dot plot seharusnya menurun. Pernyataan harus lebih imbang antara sedikit optimisme dan kemauan untuk bereaksi cepat, apabila kekhawatiran resesi benar-benar terjadi.
Ketua Dewan Gubernur Fed Jerome Powell kemungkinan akan menghadapi banyak pertanyaan tentang ancaman perlambatan ekonomi AS, terutama meninjau inversi kurva imbal hasil belum lama ini. Investor harus membaca apa yang tersirat untuk memahami posisi Fed pada saat ini.
Bank of England dan Bank of Japan juga akan mengadakan rapat pekan ini, tapi keduanya sepertinya tidak akan menarik. Brexit adalah topik utama di Inggris dan BoE tidak dapat mengambil kebijakan baru sebelum situasi politik lebih jelas.
Sementara itu, kebijakan moneter Jepang sepertinya masih jauh dari pengetatan karena kontraksi ekonomi Jepang belum lama ini.
Terkait rilis data, angka inflasi Uni Eropa, Inggris, Kanada, dan AS akan diumumkan. Data PDB Final AS juga akan dirilis pekan ini, termasuk data lain seperti pemesanan barang tahan lama, penjualan rumah tersedia, pembangunan rumah baru, dan izin pembangunan.
"Sektor perumahan AS yang semakin melemah dapat menambah kekhawatiran mengenai perlambatan ekonomi di tahun mendatang," ujar Lukman Otunuga.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.