Sejumlah Pengamat Sebut Debat Capres Belum Banyak Menyentuh Subtansi yang Strategis
Kinerja pertanian selama ini tumbuh dengan relatif baik di tingkat pertumbuhan 3,9 persen di 2018
Penulis: Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Debat capres tahap dua Minggu (17/2) dinilai belum memberikan gambaran yang substansif dan strategis.
Paparan dan pandangan yang disampaikan kedua kandidat belum memberikan gambaran yang jelas terhadap tantangan Indonesia yang akan dihadapi di masa datang, dan penjelasannya cenderung lebih bersifat reflektif.
Demikian hasil diskusi “Menakar Komitmen Capres/Cawapres dalam Pengembangan Pangan, Energi dan Infrastruktur yang diselenggarakan Center Strategic and International Studies (CSIS) Senin (18/02) dengan pembicara Prof. Dr. Bustanul Arifin, pakar ekonomi pertanian dari Universitas Lampung, Febby Tumiwa Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform (IESR), Dr. Alin Halimatussadiah Peneliti Senior LPEM-UI dan Deni Friawan, Peneliti CSIS dengan moderator Prof. Dr. Mari Elka Pangestu Pembina Yayasan CSIS yang juga Menteri Perdagangan 2004-2011.
Di sektor pangan, menurut Bustanul, debat capres masih terlalu menekankan isu swasembada dan tidak membahas salah satu isu pokok mengenai pangan, terutama beras.
Kinerja pertanian selama ini tumbuh dengan relatif baik di tingkat pertumbuhan 3,9 persen di 2018, walaupun belum berkontribusi pada ketahanan pangan, penciptaan lapangan pekerjaan dan pengetasan kemiskinan.
Ke depan, menurut dia, masalah pangan bukan lagi hanya terkait pada kebijakan pertanian, tapi sudah pada isu kebijakan pangan (food policy).
“Isunya bukan lagi pada swasemba, karena ini hanya soal perut, tapi pada kebijakan pangan yang terkait dengan pembangunan manusia,” katanya.
Oleh karena itu, lanjut Bustanul, isu terpenting adalah bagaimana meningkatkan akses masyarakat, terutama kelompok miskin, terhadap kebutuhan pangan dan gizi. Mengutip sejumlah data, dia mengungkapkan, sejumlah indikator memang menunjukkan adanya kemajuan dalam pembangunan gizi masyarakat, namun masih terdapat sejumlah masalah yang cukup besar.
Tidak berbeda jauh dengan debat di sektor pangan, menurut Fabby Tumewa, pandangan dan materi yang disampaikan kedua capres di bidang energi belum menyentuh hal yang subtansif. Sebagian besar debat pada masalah impor BBM.
Padahal, selain mengurangi impor BBM, salah satu tantangan ke depan adalah bagaimana mengkaitkan isu energi dengan perubahan iklim atau pengurangan emisi CO2. Namun ini tidak terungkap dengan baik, isunya baru sebatas bagaimana mengurangi impor BBM.
Padahal keadaan dunia terkait energi sudah banyak berubah baik dari segi persepsi dan kebijakan pengurangan pengunaan batu bara, serta perubahan teknologi serta biaya untuk energi terbarukan seperti tenaga surya dan angina.
Tidak terlihat adanya pembahasan bagaimana misalnya Indonesia bisa mencapai bauran energi sesuai dengan target. Misalnya untuk di sektor tenaga listrik, pada 2027 sebagian besar yaitu 54,4 persen dari pembangkit listrik menggunakan batu bara, kemudian 23 persen energi terbarukan dan 22,2 persen gas alam.
Di sektor infrastruktur, Deni Friawan, Peneliti CSIS pertanyaan ke depan bukan lagi soal perlu atau tidak pembangunan infrasturtur tapi adalah infrastruktur dalam bentuk apa, di sektor mana pembangunan ini dilakukan, dan sumber pembiayaan.
Baca: Walhi Tantang Jokowi Buka Kartu Timnya yang Miliki Lahan Negara Seperti Prabowo
Menurut Deni, meski pemerintahan Jokowi-JK sudah menggenjot pembangunan infrastruktur, pada jalur yang benar dan sudah berdampak positif kepada pertumbuhan ekonomi. Namun hasilnya baru sebatas mengurangi laju penurunan kebutuhan infrastruktur yang diukur dari stok infrastruktur terhadap PDB yang dalam 4 tahun terakhir ini stabil.