Kenali Dua Regulasi Baru yang Melindungi Pemilik Aparteman dan Rumah Susun
Sebenarnya, payung hukum tentang rumah susun telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011.
Editor: Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Tren hunian vertikal, rumah susun atau apartemen begitu cepat perkembangannya. Rumah susun dipandang menjadi solusi kebutuhan tempat tinggal di tengah keterbatasan lahan khususnya di perkotaan.
Tengok saja, kepadatan penduduk DKI Jakarta mencapai 15.366,87 per km2. Peruntukan lahan untuk perumahan menduduki proporsi terbesar yaitu 48,41% dari luas daratan utama DKI Jakarta.
Mengutip data Pusat Pengelolaan Dana Pembiayaan Perumahan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), pada 2015 persentase rumah tangga DKI Jakarta yang memiliki tempat tinggal sendiri sebesar 51,09%. Dengan jumlah backlog kepemilikan rumah 2015 mencapai 1.276.424 rumah tangga.
Tidak heran jika proyek rumah susun begitu massif pembangunannya. Namun, muncul permasalahan lain terutama persoalan kehidupan bermasyarakat dalam hunian vertikal. Yang ujungnya pada konflik pembentukan Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun (PPPSRS).
Baca: 157 Korban Tewas Boeing 737 Max 8 Ethiopian Airlines Berasal dari 33 Kewarganegaraan
Sebanyak 185 dari 195 apartemen dan rumah susun di Jakarta diduga melanggar ketentuan dalam proses penjualan, hak kepemilikan, pengurusan perhimpunan penghuni, hingga pengalihan pengelolaan gedung.
Ketidakpastian hukum dan lemahnya pengawasan membuat para pengembang besar dan kecil serempak melakukan praktik yang merugikan konsumen.
“Sekitar 80% pengaduan yang masuk ke kami seputar masalah properti. Paling banyak mengadu soal tarif listrik dan air. Serta soal klausal baku dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB),” ujar Komisioner Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) Bambang Sumantri kepada Kontan.co.id saat ditemui usai diskusi “Wajah Baru Regulasi PPPSRS (Kembalinya Kedaulatan Pemilik Sarusun), Kamis (28/2/2019).
Pakar hukum perumahan Universitas Tarumanagara Vera Wheni turut mengamani. Dirinya mengungkapkan fakta ekspresi sikap pengembang terhadap konsumen.
Baca: Dituding Rebut Reino Barack dari Luna Maya, Syahrini: Bukan Jodoh Jadi Tersingkir Sendiri
“Kita (pelaku usaha) punya PPJB yang standard. Mana bisa (pelaku usaha) 1 mempertimbangkan maunya 1 konsumen untuk PPJB. (Kami) jual 5.000 unit apartemen berarti ada 5000 PPJB untuk konsumen yang keinginannya masing-masing. PPJB dari (pelaku usaha) standard,” kata Vera mengutip pernyataan dari pengembang.
“Kalau mau equal kontrak itu satu banding satu. Sedangkan kita (pelaku usaha) itu buat kontrak satu banding 1000 konsumen. Kita (pelaku usaha) harus memprotek kita dulu. Maka semua (pelaku usaha) di Jakarta membuat PPJB standar seperti itu”.
Bentuk-bentuk pelanggaran lain yang acap kali terjadi:
1. Serah terima unit apartemen/rusun tidak disertai kelengkapan dokumen seperti: tata tertib hunian, salinan IMB, Sertifikat Laik Fungsi (SLF), pertelaan, sertifikat hak milik satuan rumah susun (sarusun) atau sertifikat kepemilikan bangunan gedung; dan akta jual beli;
2. Status tanah tidak disampaikan pada para pemilik/penghuni, belum ada kejelasan status tanah bersama;
3. Penetapan iuran pengelolaan lingkungan (IPL), pengelolaan dana, dan pemberian sanksi kepada pemilik oleh pengembang, tidak transparan dalam pengelolaan rusun
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.