Rencana Detail Tata Ruang Perlu Akomodir Zona Khusus untuk Rumah Rakyat
laju urbanisasi harus dikelola dengan baik, sehingga memberikan manfaat yang lebih besar untuk pertumbuhan ekonomi.
Editor: Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Pengembangan kawasan perkotaan ke depan perlu direncanakan lebih adil bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) terutama menyangkut penyediaan rumah layak huni.
Salah satu cara dengan memastikan adanya zona khusus untuk rumah rakyat di dalam Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) yang saat ini sebagian besar sedang disusun masing-masing pemerintah daerah.
Ketua Umum DPP Realestat Indonesia (REI) Soelaeman Soemawinata mengatakan laju urbanisasi harus dikelola dengan baik, sehingga memberikan manfaat yang lebih besar untuk pertumbuhan ekonomi. Apalagi sekitar 68 persen penduduk Indonesia diperkirakan akan tinggal di perkotaan pada 2025.
Merujuk data dari World Bank, 1 persen laju urbanisasi baru mampu meningkatkan 4 persen PDB per kapita masyarakat Indonesia. Padahal di negara – negara lain seperti Thailand dan Vietnam, 1 persen laju urbanisasi dapat mendorong 7 persen-8 persen PDB per kapita penduduknya.
Baca: Kepala BKP Kementan: Ketahanan Pangan Harus Dibangun Bersama-sama
“Jadi, rencana tata ruang perkotaan ke depan harus memberikan keberpihakan dan kepastian bermukim untuk MBR dan kaum miskin kota. Harus ada inovasi seperti zona perumahan rakyat dalam RDTR terutama di kota-kota yang menjadi sasaran urbanisasi,” ungkap Eman, demikian dia akrab disapa, kepada wartawan usai menjadi narasumber pada acara “Pelatihan Penyusunan Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi” yang diadakan Ikatan Ahli Perencanaan (IAP) DKI Jakarta, Jumat (26/4/2019).
Menurut dia, keadilan tata ruang seperti zonasi perumahan rakyat ini juga dapat membendung terjadinya urban sparwl yang menyebar ke pinggiran kota, sehingga MBR dipaksa tinggal jauh dari pusat kota sehingga menyebabkan kemacetan, polusi, ketidakefisienan dan biaya transportasi yang mahal.
Dengan adanya zona perumahan rakyat dalam RDTR, ungkap Eman, diyakini akan memberi akses lebih luas bagi MBR untuk memiliki rumah di dekat atau di tengah pusat kota seperti yang sudah diterapkan di banyak negara.
“Kalau sudah ada zona khusus untuk rumah rakyat di dalam detail tata ruang, maka harga tanah disitu akan terkontrol, demikian juga pajak bumi dan bangunannya. Swasta boleh saja masuk, tetapi dia harus membangun rumah untuk MBR di situ, tidak boleh komersial,” tegas Eman yang juga Presiden Federasi Realestat Dunia (FIABCI) Asia Pasifik tersebut.
Berdasarkan data Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR), hingga Maret 2019 baru 52 Perda RDTR yang sudah rampung dari 1.383 Perda RDTR yang seharusnya disusun di seluruh kota se-Indonesia. Realisasi itu masih sangat rendah sekali, padahal RDTR merupakan acuan pembangunan kota.
Kontrol Lahan
Keberadaan zona khusus rumah rakyat di dalam RDTR diyakini akan efektif membantu Program Sejuta Rumah (PSR) yang sedang digiatkan pemerintah baik dari sisi permintaan atau kebutuhan masyarakat maupun penyediaan (pasokan) dari pengembang.
Sebab dengan zona khusus yang harga lahannya terkontrol, maka pengembang rumah subsidi yang selama ini kesulitan mencari lahan terjangkau di dekat kota akan sangat terbantu.
Namun sukses atau tidaknya pengembangan zona khusus ini, menurut Eman, sangat tergantung kepada dua syarat yakni pemerintah harus mendukung penuh pembangunan infastruktur kawasan zona khusus rumah rakyat, dan syarat kedua pemerintah daerah harus tegas melakukan pengawasan dan penegakan hukum terhadap pemanfaatan lahan di zona tersebut.
“Kontrol pemerintah daerah penting sekali. Artinya kalau di zona itu khusus rumah MBR, maka tidak bisa dijual misalnya kepada pengembang rumah komersial. Harus tegas sesuai peruntukkannya, ada law enforcement disitu,” ujar Eman yang juga merupakan alumni Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota dari Institut Teknologi Bandung (ITB) itu.
Ketua IAP DKI Jakarta, Dhani Muttaqien, mengungkapkan pelatihan tersebut dilakukan selama tiga hari dari 24-26 April 2019 yang diikuti puluhan perencana kota (planner) dari Jakarta dan Jawa Barat.
Pelatihan ini melibatkan pemateri dari Kementerian Agraria dan Tata Ruang, Dinas Cipta Karya, Tata Ruang, dan Pertanahan Provinsi DKI Jakarta, akademisi dan praktisi termasuk dari REI.
Pelatihan ini diselenggarakan untuk meningkatkan kompetensi para perencana kota dalam penyusunan RDTR. Apalagi, banyak kawasan perkotaan yang belum memiliki Perda RDTR yang dapat menimbulkan ketidakpastian usaha di berbagai sektor.
“Ada pekerjaan besar bagi para perencana kota untuk dapat terlibat dalam penyusunan RDTR di seluruh Indonesia. Nah di pelatihan ini kami memberikan materi-materi agar perencana kota dapat menyusun dokumen RDTR yang berkualitas,” ujar Dhani.
Keberadaan RDTR, ungkap dia, akan melengkapi kebijakan Online Single Submission (OSS) yang telah diluncurkan oleh Pemerintah, karena adanya perda RDTR memberikan kepastian investasi di suatu daerah. RDTR adalah dasar perizinan, baik untuk izin mendirikan bangunan (IMB), izin prinsip, izin lokasi, dan izin lingkungan.